BBM Mahal, DEN: Pengembangan Kendaraan Listrik Semakin Mendesak



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gaung Program Kendaraan Bermotor Berbasis Listrik (KBBL) kian menderu belakangan ini. Terutama setelah isu krisis energi semakin memanas.

Sekjen Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menuturkan jalan untuk beralih dari kendaraan konvensional berbahan bakar minyak (BBM) ke KBBL terbilang mendesak.

Bila pemakaian kendaraan listrik ini semakin meningkat, maka impor BBM pun akan terus berkurang dari tahun ke tahun. Pada 2025 menurutnya, impor BBM bisa ditekan sampai 37.000 barel per hari (bph).


Lalu, pada 2030 kembali bisa ditekan sampai ke posisi 67.000 bph. "Dan impor BBM bisa berkurang sampai 299 ribu barel per hari di tahun 2040," kata Djoko kepada Tim Jelajah Ekonomi KONTAN.

Lebih lanjut Djoko menyampaikan, selain menekan impor BBM, penggunaan kendaraan listrik juga akan berdampak baik pada lingkungan. Dia menyebut, lingkungan akan menjadi bersih dari polusi, sehingga masyarakat bisa hidup lebih sehat.

Baca Juga: Emiten Tambang Indonesia Masuk Radar Pemain Terbesar Baterai EV Global

"Juga memenuhi Paris Agreement yang telah diteken Presiden untuk mengurangi pemanasan global," jelasnya.

Lalu dari sisi keuangan negara, menurutnya dengan beralihnya masyarakat ke kendaraan listrik, maka subsidi pada BBM bisa ditekan secara signifikan, sehingga menghemat miliaran devisa.

Mengacu pada Grand Strategi Energi hingga 2030, asumsi bila ada 13 juta motor listrik dan 2 juta mobil listrik beroperasi pada 2030 maka akan menghemat devisa rata-rata sekitar US$ 1 miliar per tahun atau sekitar Rp 14,4 triliun (kurs Rp 14.400 per dollar AS).

Djoko menambahkan, pemerintah sendiri sudah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpers) No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. “Ini artinya pemerintah sudah mengantisipasi sejak tiga tahun lalu,” katanya.    

Dalam beleid tersebut, pemerintah mengatur soal pentingnya tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dalam program percepatan kendaraan listrik. Contohnya, kendaraan listrik roda 4 dengan TKDN minimum 35% pada 2021, TKDN minimum 40% pada 2023, dan TKDN minimum 80% pada 2030.

“Tren dunia otomotif mengalami perubahan besar dengan hadirnya kendaraan listrik. Indonesia tidak ingin hanya menjadi konsumen penuh namun bertekad menjadi pemain utama. Ekosistem pun disiapkan,” ujarnya.

Hal itu pula, pemerintah juga terus mendorong pengembangan industri baterai. Pasalnya, baterai merupakan komponen terbesar dari kendaraan listrik. Artinya, jika industri dalam negeri dapat memenuhi kebutuhan baterai maka akan menekan harga jual kendaraan listrik saat ini yang dirasa masih mahal.

Djoko menyebut setidaknya ada tiga langkah yang bisa dilakukan untuk lebih mendorong program kendaraan listrik. Pertama, penggunaan kendaraan listrik di lingkungan pemerintah terus digalakan. “Kita ada program konversi kendaraan di lingkungan kami, saat sudah 200 sepeda motor,” paparnya.

Baca Juga: Jadi Pionir, BNI Pasang Dua SPKLU Skema Partnership

Kedua, produsen otomotif mulai untuk memproduksi kendaraan listrik. Djoko menuturkan pihaknya sempat memberikan masukan tersebut ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Sudah berkiirim surat ke bapak presiden, sudah harus mulai memproduksi motor listrik. Industrinya tetap ada, karyawannya tetap bekerja. Produksi dari tadinya motor bebek mulai motor listrik. Lapangan kerja tetap ada tidak mematikan industry,” katanya.

Ketiga, insentif perpajakan untuk mendukung kendaraan listrik. Terutama pajak impor kendaraan listrik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto