Menyisir Peluang dan Ruang Pemanfaatan EBT Demi Merealisasikan Industri Hijau



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam kurun waktu tak lebih dari 3,5 tahun, pemerintah harus menggandakan persentase bauran energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi 23%. Sementara sejumlah tantangan masih di depan mata, upaya mencari ruang dan peluang dilakukan demi terwujudnya industri yang lebih hijau.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan tahun ini tingkat bauran EBT sekitar 12%. Artinya untuk mencapai target 23% pada tahun 2025 nanti, pemerintah harus memacu dobel persentase tersebut. 

Keberhasilan pencapaian target bakal signifikan mempengaruhi target-target berikutnya dalam peta jalan energi nasional. Pada tahun 2029 pemerintah mengejar bauran EBT sebesar 29%. Lalu menyusul tahun 2060 atau lebih cepat, pemerintah menargetkan net zeo emmisions.

pupuBaca Juga: Ini Empat Tantangan Terbesar Pengembangan Energi Hijau di Sektor Industri Domestik

Selain dalam upaya mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca, peta jalan energi nasional bertujuan mengejar keekonomian. "Kalau tidak sukses di energi hijau, industri kita bisa terancam karena negara-negara maju akan menerapkan tambahan pajak untuk produk-produk yang tidak memakai energi bersih," kata Dadan saat ditemui KONTAN di kantornya di Cikini, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.

Namun perlu langkah ekstra untuk meningkatkan bauran EBT. Pasalnya, kapasitas pasokan energi Indonesia saat ini yang mayoritas berasal dari pembangkit listrik tenaga upa (PLTU) berbasis batubara justru dalam kondisi berlebih. 

Oleh karena itu, Kementerian ESDM memetakan empat solusi atas situasi kelebihan pasokan listrik dari energi fosil. Pertama, menegosiasi ulang skema bisnis take or pay antara PLN dengan penyedia listrik swasta atau independent power producer (IPP).

Baca Juga: Pupuk Kaltim Rancang Energi Pendamping Biomassa, Manfaatkan Limbah Sawit Anak Usaha

Seperti diketahui, skema take or pay menempatkan PLN untuk menyerap setrum yang dihasilkan oleh IPP dalam kondisi apapun. Kalau tidak menyerap listrik tersebut, perusahaan listrik pelat merah itu harus membayar denda. 

Tak ayal dalam kondisi pasokan listrik fosil yang saat ini tengah berlebih, semakin susah bagi pemerintah untuk menghadirkan proyek sumber setrum baru berbasis EBT. Sementara jika menunggu pengembangan EBT setelah semua rencana proyek PLTU yang disetujui terbangun, paling tidak Indonesia harus menunggu hingga 2056.

Mengikuti masukan dari Kementerian Keuangan (Kemkeu), Kementerian ESDM diminta menegosiasi skema take or pay dengan cara seperti menurunkan capacity factor dari 75% menjadi 70%. Harapannya, selisih antara penurunan tersebut bisa menjadi ruang bagi pengembangan proyek EBT.

Baca Juga: Manfaatkan Limbah Batubara FABA Untuk Timbunan Tanah, Pupuk Kaltim Klaim Jadi Pionir

Kedua, mengurangi operasional PLTU. Kontrak pembelian listrik atau power purchae agreement (PPA) antara PLN dengan IPP bisa berlangsung hingga 30 tahun. Artinya, selama itu pula PLN membeli produk setrum kalau tidak mau membayar denda.

Dalam upaya mempercepat dan memacu proyek EBT, pemerintah menginisiasi skema pensiun dini untuk PLTU yang berusia lebih dari 10 tahun. Pertimbangannya, waktu pengembalian modal atawa payback period proyek setrum kurang lebih sekitar satu dekade. Dengan begitu, biaya kompensasi yang harus dibayar oleh pemerintah untuk menyetop PLTU lawas akan lebih kecil.

Kementerian ESDM juga menakar pendanaan murah untuk proyek setrum yang belakangan semakin banyak. "Dulu untuk bangun PLTU harus bayar bunga kredit 10% tapi sekarang bisa 1%-2% saja sehingga gap itu mestinya bisa semakin mempercepat pengembalian modal mereka (IPP)," kata Dadan.

Baca Juga: Menuju Era Blue Ammonia, Pupuk Kaltim Akan Bangun Pabrik Soda Ash Demi Manfaatkan CO2

Ketiga, menambah permintaan listrik untuk menyerap kelebihan pasokan. Ketika realisasi proyek PLTU bertambah, permintaan setrum berkurang karena pandemi Covid-19 dan perlambatan ekonomi. Demi melecut konsumsi listrik yang sudah terlanjur dihasilkan oleh pembangkit fosil, pemerintah bermaksud mendorong program kompor induksi.

Kompor induksi yang menggunakan daya listrik ditujukan untuk menggantikan kompor LPG. Selain memanfaatkan sumber setrum. Pemerintah memperkirakan pemanfaatkan kompor induksi akan mengurangi biaya impor LPG dengan harga yang fluktuatif. Adapun dalam tiga tahun hingga empat tahuh ke depan, target pemanfaatan kompor induksi mencakup 15 juta rumah tangga.

Dengan cara memacu konsumsi energi lewat kompor induksi tersebut, Kementerian ESDM berharap peluang pemanfaatan sumber EBT secara umum juga terbuka. Harapannya, secara bertahap ke depan sumber EBT bisa mendominasi.

Baca Juga: Bangun Pabrik Soda Ash US$ 250 Juta, Pupuk Kaltim Bidik Pasar Unilever Hingga Maspion

Keempat, menerapkan pajak karbon. Pemerintah sedang mulai merancang pajak karbon untuk pembangkit listrik yang dioperasikan oleh PLN maupun IPP. "Kami akan mulai dari pembangkit listrik dulu lalu ke depan masuk ke pajak-pajak karbon yang sifatnya umum ke industri dan produk yang dihasilkan," tutur Dadan.

Sejalan dengan itu, Kementerian ESDM akan mendorong pengurangan carbon footprint atau jejak karbon dari sisi penggunaan energi supaya lebih bersih. Misalnya saja dengan memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

Sekadar tahu, jejak karbon adalah jumlah total gas rumah kaca termasuk CO2 dan metana yang dihasilkan industri maupun perorangan. Sementara Bank Dunia mencatat, emisi CO2 berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan pembuatan semen. Emisi CO2 Indonesia tahun 2019 sebesar 2,3 metrik ton per kapita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anastasia Lilin Yuliantina