Nouriel Roubini: Krisis finansial selanjutnya tahun 2020, ini 10 pemicunya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski ekonomi global tengah menikmati pertumbuhan berkelanjutan, ekonomi pada akhirnya akan menurun karena kebijakan fiskal yang tidak berkelanjutan di AS. Tahun 2020 akan menjadi tahun penurunan. Tak seperti tahun 2008, pemerintah akan kekurangan alat kebijakan untuk mengelola krisis ini.

Dalam opini berjudul The Makings of a 2020 Recession and Financial Crisis di laman www.project-syndicate.org, Kamis (13/9), Nouriel Roubini dan Brunello Rosa mengungkapkan ada 10 alasan terjadinya krisis tahun 2020 atau dua tahun lagi.

Krisis ini bisa terjadi menyusul ekspansi global yang masih berlanjut hingga tahun depan. AS masih memiliki defisit fiskal besar. China masih memegang kebijakan fiskal longgar dan Eropa masih berada dalam masa pemulihan setelah krisis.

1. Hambatan fiskal AS

Kebijakan stimulus fiskal yang saat ini mendorong pertumbuhan ekonomi tahunan Amerika Serikat (AS) di atas 2% kemungkinan tidak akan berlanjut. Pada tahun 2020, stimulus akan berakhir, dan hambatan fiskal akan menurunkan pertumbuhan dari 3% menjadi sedikit di bawah 2%.

2. Overheating

Karena waktu penarikan stimulus tidak tepat, ekonomi US saat ini sudah terlalu panas dan inflasi melaju di atas target. Bank sentral AS Federal Reserve akan terus menaikkan suku bunga Fed Fund Rate dari saat ini 2% menjadi setidaknya 3,5% pada tahun 2020.

Suku bunga ini akan mendorong yield utang jangka pendek dan jangka panjang serta nilai tukar dollar AS. 

Sementara, inflasi juga terus meningkat di negara-negara dengan ekonomi besar lainnya. Kenaikan harga minyak akan menambah tekanan inflasi. Hal ini menyebabkan bank-bank sentral negara maju akan mengikuti The Fed untuk normalisasi kebijakan ekonomi. Normalisasi suku bunga akan mengurangi likuiditas global dan menyebabkan suku bunga di pasar lebih tinggi.

3. Perang dagang

Perselisihan perdagangan antara pemerintahan Donald Trump dengan China, Eropa, Meksiko, Kanada dan negara-negara lain hampir pasti akan makin panas. Hal ini menimbulkan perlambatan pertumbuhan dan inflasi yang lebih tinggi.

4. Kebijakan imigrasi dan investasi

Kebijakan AS lain akan menambah tekanan stagflasi dan memicu The Fed untuk menaikkan suku bunga lebih tinggi lagi. Pemerintah AS membatasi aliran investasi masuk dan keluar serta transfer teknologi yang akan mengganggu rantai pasokan. 

Pemerintah AS pun membatasi imigran yang diperlukan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi di tengah populasi AS yang menua. Kebijakan AS pun menyebabkan investasi hijau menciut dan pemerintah tidak memiliki kebijakan untuk mengatasi masalah kemacetan atawa bottlenecking pasokan.

5. Pembalasan proteksionisme

Pertumbuhan di negara-negara lain akan melambat sehingga ada potensi pembalasan terhadap kebijakan proteksionisme AS. China harus memperlambat pertumbuhan untuk mengatasi kelebihan kapasitas dan leverage yang berlebih. 

Jika tidak, China akan mengalami hard landing. Sementara itu, pasar negara berkembang yang sudah rapuh akan merasakan efek proteksionisme dan pengetatan moneter AS.

6. Krisis Eropa berlanjut

Eropa juga akan terkena perlambatan pertumbuhan karena pengetatan kebijakan moneter dan friksi perdagangan. Terlebih lagi, kebijakan populis di negara-negara seperti Italia bisa memicu tingkat utang yang bisa menggoahkan Zona Euro. 

Doom loop yang belum terselesaikan antara pemerintah dan bank yang memegang utang publik akan menambah masalah moneter di wilayah dengan mata uang euro, tanpa disertai pembagian risiko yang cukup. Dengan kondisi ini, penurunan ekonomi global akan memicu Italia dan negara-negara lain untuk keluar dari Zona Euro.

7. Pecahnya pasar finansial

Pasar saham AS dan global mendekati gelembung. Price to earning ratio (PER) di AS saat ini 50% lebih tinggi daripada rata-rata historis. Valuasi perusahaan-perusahaan private-equity pun menjadi berlebihan. Obligasi negara AS makin mahal meski imbal hasilnya mini.

Surat utang dengan imbal hasil tinggi juga menjadi semakin mahal karena tingkat rasio utang perusahaan-perusahaan mencapai level tertinggi. Terlebih lagi, rasio utang di berbagai negara emerging market dan negara lebih maju pun makin tinggi. 

Properti komersial dan residensial mahal di sebagian besar dunia. Koreksi di pasar saham emerging market, pasar komoditas, dan surat utang akan berlanjut hingga badai krisis global muncul.

Seiring dengan langkah investor untuk mengantisipasi perlambatan pertumbuhan pada 2020, pasar finansial akan menggeser aset berisiko pada tahun depan.

8. The Fed tak lagi menjadi harapan terakhir 

Ketika pasar keuangan terkoreksi, risiko likuditas dan aksi jual cepat akan makin marak. Para pialang akan mengurangi transaksi. Sementara penggunaan algoritma berlebihan dalam trading akan menaikkan potensi pasar crash. Di sisi lain, alokasi reksadana dan dana investasi akan lebih terkonsentrasi pada instrumen surat utang dan fixed income.

Ketika risiko makin tinggi, emerging market dan negara maju dengan liabilitas berdenominasi dollar tidak lagi memiliki akses ke The Fed sebagai harapan terakhir. Dengan risiko inflasi dan normalisasi di AS, pembelian aset oleh bank sentral yang terjadi setelah krisis 2008 tidak akan tersedia lagi.

9. Tahun pemilihan AS

Trump sudah mulai menyerang bank sentral ketika pertumbuhan ekonomi mencapai 4% di kuartal kedua lalu. Bayangkan tindakan Trump pada tahun pemilihan 2020 ketika pertumbuhan mungkin tak sampai 1% dan pemangkasan pekerja mulai marak.

Godaan bagi Trump untuk menciptakan krisis luar negeri akan makin tinggi, terutama jika Demokrat mengambil alih House of Representative tahun ini.

Karena Trump sudah memulai perang dagang dengan China dan tidak akan berani menyerang Korea Utara yang memiliki nuklir, target terbesar Trump adalah Iran. Lewat provokasi konfrontasi militer dengan Iran, Trump akan memicu stagflasi geopolitik yang tidak berbeda dengan lonjakan harga minyak pada tahun 1973, 1979, dan 1990. Hal ini akan menyebabkan resesi global mendatang makin parah.

10. Kurangnya alat untuk mengatasi kebijakan

Setelah badai krisis terjadi, alat kebijakan untuk mengatasi krisis sangat kurang. Ruang untuk stimulus fiskal sudah sangat terbatas di tengah utang publik jumbo. Kemungkinan untuk menggelar kebijakan moneter luar biasa akan dibatasi oleh neraca yang sudah membengkak, serta ruang terbatas untuk memangkas suku bunga. 

Di sisi lain, bailout untuk sektor finansial akan sulit ditoleransi pada negara-negara dengan gerakan populis dan bangkit kembali dan pemerintahan yang hampir bangkrut.

Di AS khususnya, anggota parlemen telah membatasi kemampuan The Fed untuk menyediakan likuiditas bagi lembaga keuangan non bank dan institusi asing dengan kewajiban dalam denominasi dollar.

Di Eropa, kebangkitan partai populis akan menyulitkan reformasi di tingkat Uni Eropa dan membentuk institusi yang diperlukan untuk mengatasi krisis finansial selanjutnya. Ini berbeda dengan tahun 2008 ketika pemerintah memiliki alat kebijakan yang diperlukan untuk menahan ambruknya finansial. 

Para pembuat kebijakan harus menghadapi krisis selanjutnya akan sulit bergerak ketika tingkat utang jauh lebih tinggi ketimbang krisis sebelumnya. Krisis dan resesi selanjutkan akan lebih parah dan berkepanjangan daripada krisis terakhir.

Ramalan JP Mogran

Tak cuma Roubini, JPMorgan Chase & Co pun meramalkan krisis finansial selanjutnya. Sejumlah analis JPMorgan menciptakan sebuah model yang bertujuan untuk mengukur waktu dan tingkat keparahan krisis finansial yang berikutnya. JPMorgan berpendapat, investor harus mempersiapkan diri untuk menghadapi krisis tersebut yang diprediksi terjadi pada 2020.

Menurut JPMorgan, krisis berikutnya tidak akan separah dibanding krisis sebelumnya. Sedangkan kabar buruknya, penurunan likuiditas pasar finansial sejak 2008 menjadi "wildcard" atau "kartu liar" yang sulit diprediksi.

Model yang dibuat JPMorgan menghitung hasil berdasarkan lamanya waktu ekspansi ekonomi, durasi dari potensi resesi berikutnya, tingkat leverage, valuasi harga aset, serta level deregulasi dan inovasi finansial sebelum terjadinya krisis. Dengan asumsi tingkat rata-rata panjangnya waktu resesi, model ini menghasilkan estimasi performa kelas aset yang berbeda untuk krisis berikutnya.

"Dilihat dari seluruh aset, proyeksi ini terlihat lebih jinak dibandingkan dengan apa yang disampaikan oleh GFC dan mungkin tidak terkait dengan rata-rata resesi/krisis di masa lalu," jelas tim riset JPMorgan John Normand dan Federico Manicardi seperti yang dikutip dari Bloomberg.

Tim riset juga menulis, selama resesi dan krisis keuangan global berikutnya, indeks S&P 500 akan turun 54% dari level  puncaknya. “Kami akan mendorong ini semua setidaknya ke norma-norma historis mereka karena wildcard dari pasar yang secara struktural kurang likuid," jelas JPMorgan.

Sebelumnya, Marko Kolanovic dari JPMorgan juga telah menyimpulkan bahwa pergeseran besar dari investasi yang dikelola secara aktif-melalui peningkatan dana indeks, dana yang diperdagangkan di bursa, dan strategi perdagangan berbasis kuantitatif- telah meningkatkan bahaya berupa gangguan di pasar finansial. Dia dan rekan-rekannya menulis dalam catatan terpisah pada Senin lalu tentang besarnya potensi kemunculan  "Krisis Likuiditas Besar" di masa depan.

"Pergeseran dari manajemen aset yang aktif ke pasif, dan khususnya penurunan nilai investor yang aktif, mengurangi kemampuan pasar untuk mencegah dan pulih dari penarikan dana besar-besaran," tulis Joyce Chang dan Jan Loeys dalam hasil riset yang dipublikasikan Senin (10/9) lalu.

Kekhawatiran likuiditas

"Perubahan ini telah menghilangkan sekumpulan besar aset yang siap untuk dibeli oleh sekuritas publik dengan harga murah dan menghentikan gangguan pasar," Chang dan Loeys memperingatkan.

Normand dan Manicardi menambahkan, salah satu hal yang patut digarisbawahi saat terjadinya guncangan pada emerging market adalah: aset-aset di negara berkembang menjadi lebih murah tahun ini, sehingga membantu membatasi penurunan selama krisis berikutnya sekaligus mengimbangi penumpukan utang.

Selain masalah likuiditas, Normand dan Manicardi menyoroti panjangnya masa waktu krisis berikutnya sebagai ketidakpastian penting dalam mengukur seberapa buruk krisis yang akan terjadi. Analisis mereka dari episode masa lalu menunjukkan, semakin lama resesi berlangsung, biasanya semakin besar pukulan ke pasar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati