10 Rekomendasi Ombudsman atas penangkapan BW



JAKARTA. Ombudsman telah membuat beberapa rekomendasi terkait penangakapan Bambang Widjojanto oleh Polri. Rekomendasi itu berdasarkan pengaduan yang diajukan Bambang.

"Rekomendasi ini telah diberikan 20 Februari 2015 dan setelah itu, kami beri waktu 60 hari untuk dilaksanakan pihak Polri", kata Budi Santoso, Anggota Bidang Penyelesaian dan Pengaduan Ombudsman kepada KONTAN, Selasa (24/2).

Rekomendasi pertama, penangkapan merupakan upaya paksa dalam proses penyidikan. Menurut Ombudsman, penyidik sebelum melakukan penangkapan, terlebih dahulu mempertimbangkan untuk memanggil tersangka dua kali beturut-turut. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hukum dan melindungi hak asasi tersangka.


Hal ini berlaku untuk tersangka Bambang Widjojanto. Ketentuan pemanggilan terlebih dahulu diatur dalam Pasal 36 Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Kedua,  dalam melakukan penangkapan, penyidik wajib dilengkapi dengan surat perintah penangkapan yang memuat identitas tersangka, alasan penangkapan, uraian singkat perkara, tempat tersangka diperiksa dan penyidik yang melakukan penangkapan.

Pada surat perintah penangkapan Bambang,  tidak tercantum nama Kombes Pol. Viktor E Simanjuntak yang pada saat penangkapan statusnya sebagai Perwira Menengah Lembaga Pendidikan Polri (Pamen Lemdikpol). Oleh karena itu keberadaan Kombes Viktor dalam melakukan penangkapan tersangka tidak dapat dibenarkan.

Keberadaan dua anggota polri berseragam dan membawa senjata laras panjang di lokasi penangkapan. Hal itu pun tidak dibenarkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.  

Rekomendasi ketiga, Ombudsman menilai, penyidik Bareskrim Polri tidak cermat, teliti dan hati-hati dalam menyiapkan administrasi penyidikan yaitu surat perintah penangkapan Nomor SP. Kap/07/I/2015/ Dit Tipideksus tanggal 22 Januari 2015, dimana terdapat kesalahan pada alamat tempat tinggal tersangka, yaitu RT dan kecamatan.

Selain itu, dalam surat Perintah Penangkapan tidak diuraikan pengenaan ayat secara rinci yang menunjukan peran dan kualifikasi tersangka sebagai pelaku tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) KUHAP.  

Keempat, dalam melakukan penggeledahan rumah atau tempat, penyidik wajib meminta izin terlebih dahulu kepada Pengadilan Negeri setempat. Namun, faktanya penyidik tidak pernah meminta ijin kepada Ketua Pengadilan Negeri Depok, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (1) KUHAP dan Pasal 57 ayat (1) dan (2) Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Rekomendasi kelima, dalam proses penanganan perkara tindak pidana dilakukan melalui 2 tahapan yaitu penyelidikan dan penyidikan, terkecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidikan bisa dilakukan tanpa penyelidikan terlebih dahulu. Perkara yang disangkakan kepada Pelapor bukan merupakan peristiwa tertangkap tangan sehingga seharusnya Penyidik terlebih dahulu melakukan tindakan penyelidikan.

Berdasarkan dokumen yang diperlihatkan dan keterangan penyidik, ditemukan fakta bahwa terhadap perkara Pelapor tidak dilakukan langkah penyelidikan terlebih dahulu, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 5 KUHAP serta Pasal 4 dan Pasal 15 Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.  

Rekomendasi keenam, pada saat dimulainya penyidikan, penyidik mempunyai kewajiban untuk mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penuntut Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 25 ayat (1) Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Untuk perkara ini Surat Perintah Penyidikan diterbitkan pada tanggal 20 Januari 2015, sementara SPDP diterbitkan pada tanggal 22 Januari 2015 dan dikirimkan serta diterima oleh Kejaksaan Agung RI setelah dilakukan penangkapan yaitu tanggal 23 Januari 2015.

Rekomendasi ketujuh, dalam proses penangkapan, penyidik wajib memperlihatkan identitas sebagai Petugas Polri. Namun penyidik Bareskrim Polri pada saat melakukan penangkapan terhadap Pelapor tidak menunjukkan identitas sebagai Anggota Polri melainkan hanya menunjukkan surat perintah penangkapan.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dan Pasal 17 ayat (1) Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian Negara RI.  

Rekomendasi kedelapan, Ombudsman melihat, ada diskriminasi penanganan laporan di Polri. Laporan terhadap Bambang hanya diporses 5 hari, yaitu dilaporkan pada 19 Januari dan ditangkap pada 23 Januari. Padahal, banyak kasus yang belum ditangani polri, termasuk perkara yang masuk sejak tahun 2003. 

Rekomendasi kesembilan, penyidik mempunyai kewajiban untuk memberikan turunan berita acara pemeriksaan kepada tersangka atau penasehat hukumnya dalam rangka persiapan pembelaan. Pada tanggal 3 Februari 2015 pada saat pemeriksan lanjutan pelapor, penyidik tidak memberikan turunan Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 72 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, padahal Penasehat Hukum Pelapor sudah mengajukan permintaan kepada Penyidik.  

Rekomendasi kesepuluh, sehubungan dengan terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan peningkatan kualitas Penyidik dan atasan Penyidik oleh Kapolri, antara lain melalui pembinaan, pelatihan dan pengawasan agar dikemudian hari tidak terjadi lagi maladministrasi dalam proses penyelidikan dan penyidikan.    

Berdasarkan hal tersebut, Ombudsman mengeluarkan Rekomendasi kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu Memerintahkan kepada Kepala Badan Reserse Kriminal Polri dan jajarannya agar dalam proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana mematuhi dan melaksanakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana secara konsisten dan bertanggung jawab.  

Tak hanya itu, Ombudsman juga meminta Polri memberikan pembinaan, pelatihan dan pengawasan kepada penyidik dan atasannya untuk meningkatkan profesionalisme dan kompetensi sehubungan dengan masih terjadinya maladministrasi dalam proses penangkapan.

Selain itu, Polri diminta memberikan sanksi di jajaran Bareskrim sehubungan dengan adanya maladministrasi yang dilakukan oleh Kombes Pol. Daniel Bolly Tifaona selaku Kasubdit VI Direktorat Tindak Pidana Ekonomi, Kombes Pol. Viktor E Simanjuntak yang ikut serta melakukan penangkapan diluar surat perintah penyidikan, serta penyidik yang menangani perkara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia