10 rekomendasi pajak agar Kemkeu tak berpuas diri



JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) telah merilis data sementara realisasi penerimaan negara hingga akhir 2015. Penerimaan pajak mencapai sebesar Rp 1.055 triliun (netto) dan bea dan cukai Rp 181 triliun (netto). Sehingga realisasi penerimaan perpajakan (termasuk bea cukai) adalah 83% dan pajak 81,5%. Dengan realisasi tersebut pemerintah tidak boleh berpuas diri dan segera mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan pelaksanaan perpajakan tahun 2015, agar kinerja 2016 lebih baik.

Agar realisasi penerimaan perpajakan tahun ini lebih baik, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengusulkan langkah-langkah perbaikan. Berikut rekomendasinya;

1. Revisi target penerimaan perpajakan 2016 harus segera dilakukan memperhatikan realisasi 2015. Diusulkan target penerimaan pajak direvisi dari Rp 1.368 triliun menjadi Rp 1.260 triliun, sudah termasuk potensi tambahan dari pengampunan pajak. 


2. Target penerimaan cukai diturunkan dari Rp 145 triliun menjadi Rp 135 triliun, serta ekstenfisikasi objek cukai. Revisi target pajak dan bea cukai penting untuk memberi ruang pemulihan ekonomi, menjaga iklim investasi, dan kesempatan yang jernih bagi reformasi sistem perpajakan.

2. Presiden sebaiknya segera membentuk Unit Khusus Kepresidenan yang bertugas mengawal proses reformasi perpajakan dengan tugas utama melakukan terobosan, debottlenecking (buka sumbat), dan harmonisasi lintas sektor dan institusi. Unit Khusus ini juga bertugas mempercepat pemberlakuan Single Identification Number (SIN) dan keterbukaan data perbankan sesuai standar OECD. 

3. Menerapkan kebijakan dan strategi 3F, feasible, focus, dan firm. Kebijakan yang berkepastian hukum, berkeadilan, akuntabel, dan transparan, dan strategi pemungutan pajak yang menghormati hak-hak wajib pajak dan mencerminkan prinsip-prinsip pemungutan pajak yang baik.

4. Fokus pada penggalian potensi kelompok berpenghasilan tinggi yang selama ini tingkat kepatuhan pajaknya masih rendah. Untuk itu presiden harus segera memperkuat koordinasi antara Ditjen Pajak, PPATK, dan OJK.  

5. Jika ada praktik pemungutan pajak yang instan dan berpotensi mendistorsi perekonomian dan menciptakan ketidakadilan, harus ditiadakan.

6. Segera selesaikan revisi UU Perpajakan, terutama UU KUP, untuk membangun sistem perpajakan yang baru berdasarkan prinsip keadilan, kepastian hukum, penghormatan hak wajib pajak, partisipasi, dan prioritas pada penerimaan negara. 

7. UU PPh juga direvisi dengan menekankan prinsip ability to pay, progresivitas tarif, perluasan objek pajak, kejelasan biaya fiskal, penguatan aturan anti-penghindaran pajak, dan formulasi insentif pajak yang tepat.

8. Transformasi Kelembagaan dengan menjadikan Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai institusi semi otonom di bawah presiden dan tetap berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan RI. Transformasi ini menjadi momentum membangun institusi perpajakan yang kredibel, profesional, dan berintegritas sehingga menumbuhkan kepercayaan publik yang tinggi dan mendukung kesinambungan fiskal dalam jangka panjang.

9. Presiden meninjau Perpres 37/2015 yang memotong insentif pegawai pajak sebesar 20% karena realisasi 2015 sebesar 81,5%. Meski ini konsekuensi dari aturan, alangkah bijaksananya jika presiden dan menkeu merumuskan kembali skema insentif yang lebih fair dengan mempertimbangkan tidak realistisnya target pajak, keterbatasan kapasitas, dan kendala administrasi. 

10. Menyempurnakan konsep pengampunan pajak yang akan diterapkan, dengan memperjelas skema repatriasi, meninjau tarif tebusan yang terlalu rendah, memberikan tarif khusus untuk pelaku UKM, memperkuat sistem akuntabilitas, dan manajemen data yang baik. Pemerintah juga harus mengantisipasi dampak pengampunan pajak di tahun 2017 berupa penurunan potensi pajak secara signifikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa