10 Tahun Aksi Mitigasi Perubahan Iklim Bawa Perubahan Positif



KONTAN.CO.ID - Bumi sedang tidak baik-baik saja. Perubahan iklim bukan lagi ancaman, tapi nyata. Dan, fenomena perubahan iklim yang tengah berlangsung saat ini di seluruh penjuru dunia semakin mengkhawatirkan.

Salah satu tandanya, kenaikan rata-rata suhu global. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkapkan, setelah 1970, kenaikannya meroket. Indikator inilah yang menjadi salah satu tanda perubahan iklim terjadi.

Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), kenaikan rata-rata suhu global di 2023 sudah mencapai 1,45 derajat Celcius. Padahal, Kesepakatan Paris 2015 yang juga Indonesia teken menyepakati, toleransi kenaikan suhu sampai 1,5 derajat Celcius pada 2100. 


"Nah, baru tahun 2023 sudah 1,45. Ini, kan, berarti, sangat mencemaskan. Akan terlampaui 1,5 derajat Celcius sebelum tahun 2030," ungkap Dwikorita kepada KONTAN.

Tanda lain adalah kenaikan muka air laut global. Sebelumnya terdeteksi hanya hitungan milimeter. Akhirnya, meningkat hingga menjadi 4 centimeter (cm) dalam 10 tahun.

"Meskipun hanya beberapa centimeter, kalau sampai puluhan tahun, kan, menjadi bisa meter. Berarti, ada pulau-pulau atau daratan kecil yang sebagian akan tergenang oleh air laut. Dengan bahasa terangnya, tenggelam. Bukan tenggelam masuk ke dalam laut, tapi airnya yang naik," kata Dwikorita.

Untuk mengerem laju kenaikan suhu, setiap negara yang menandatangani Kesepakatan Paris wajib berkontribusi dengan menetapkan komitmen dan target nasional mereka sendiri, yang dikenal dengan Nationally Determined Contribution (NDC).

Baca Juga: Peran Sukuk Negara dalam Pembangunan Indonesia: Sebuah Pencapaian Dekade Terakhir

Dalam NDC pertama, Indonesia menetapkan target untuk mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030. 

NDC Indonesia mencakup lima sektor yang berperan dalam pemangkasan emisi. Yakni, kehutanan dan penggunaan lahan atau forest and other land use (FOLU), energi, pertanian, proses industri dan penggunaan produk, serta limbah.

Tahun 2022, Indonesia meningkatkan ambisi pengurangan emisi melalui Enhanced NDC (ENDC). Target pengurangan emisi naik menjadi 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,2% dengan dukungan internasional pada 2030 mendatang.

Soalnya, dampak perubahan iklim enggak main-main. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemanasan global bisa membawa dampak besar dan sistemik terhadap perekonomian jika tidak diatasi dengan benar.

"Berbagai studi menunjukkan, skenario terburuk yang dapat ditimbulkan oleh perubahan iklim adalah penurunan PDB (produk domestik bruto) hingga 10% pada 2025," ujarnya dalam acara Standard Chartered’s Decarbonisation Opportunities in ASEAN, 6 September lalu.

Menurut Sri Mulyani, penurunan 10% PDB merupakan sesuatu yang sangat signifikan dan memiliki konsekuensi besar. Tidak hanya bagi perekonomian, juga berdampak pada upaya pengentasan kemiskinan serta penciptaan lapangan kerja khususnya bagi generasi muda.

Sementara Eliza Mardian, Peneliti di Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, mengungkapkan, studi dari Swiss Re Institute menunjukkan, jika suhu global naik di atas 2 derajat Celsius, negara-negara ASEAN termasuk Indonesia bisa mengalami penurunan PDB hingga 17%.

"Ini setara dengan hilangnya dua dekade kemajuan ekonomi dalam waktu singkat," sebut dia.

Baca Juga: Kinerja Satu Dekade: Pastikan Pembangunan Berdampak Positif bagi Masyarakat

Nah, Indonesia, dengan 65% penduduknya tinggal di wilayah pesisir, menghadapi risiko yang besar akibat kenaikan suhu yang berpotensi meningkatkan permukaan air laut. Eliza bilang, sektor-sektor vital, seperti pertanian, perikanan, dan pariwisata, akan sangat terdampak, Alhasil, mengancam mata pencaharian jutaan orang.

Kenaikan suhu juga meningkatkan potensi bencana alam yang kemudian bisa mengakibatkan kerusakan pada infrastruktur. Perubahan iklim, menurut Sri Mulyani, juga menyebabkan ketidakstabilan sosial politik. Sebab, kelompok masyarakat miskin dan rentan akan menjadi yang paling terdampak perubahan iklim.

Peran kunci

Untuk itu, selama 10 tahun terakhir, pemerintah melakukan mitigasi perubahan iklim yang mencakup berbagai kebijakan dan inisiatif penting. Di sektor energi, targetnya, mengurangi emisi 358 juta ton CO2 pada 2030 nanti.

Guna mencapai target ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan berbagai upaya, seperti efisiensi energi, implementasi energi terbarukan, penerapan bahan bakar rendah karbon, penggunaan teknologi pembangkit bersih, dan reklamasi tambang.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi membeberkan, hingga 2023, penurunan emisi dari sektor energi mencapai angka 127,67 juta ton CO2. Angka ini melampaui target sebesar 116,45 juta ton CO2.

Lebih dari 50% target penurunan emisi pada 2030 dari sektor energi melalui implementasi energi terbarukan, dengan target sebesar 181 juta ton CO2.

"Di situ kita mendapatkan aktivitas yang sangat besar sekali, misalnya, peran dari pembangkit listrik energi terbarukan di dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN)," ujar Eniya.

Baca Juga: Pariwisata Berkelanjutan Bukan Cuma Soal Karbon, Juga Membuka Peluang Ekonomi

Di sektor FOLU, selama 2014-2024, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong menyebutkan, Indonesia berhasil mencapai sejumlah kemajuan signifikan. 

Salah satu pencapaian terbesar adalah penanganan kebakaran hutan dan lahan. Pada 2015, Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan terbesar dalam sejarah, dengan 2,6 juta hektare (ha) terdampak.

Tapi, di 2023, melalui penguatan sistem peringatan dini, penggunaan teknik modifikasi cuaca, dan peningkatan partisipasi masyarakat, area berhasil dikurangi hingga 1,16 juta ha. 

Pencapaian besar lainnya adalah dalam ekonomi karbon. Indonesia berkomitmen mengurangi emisi yang sebagian besar berasal dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan.

Melalui Program FOLU Net Sink 2030, Indonesia berharap, bisa mencapai emisi nol bersih pada 2060, dengan memperkuat peran dalam memerangi perubahan iklim di tingkat global.

"Indonesia memainkan peran kunci dalam memerangi perubahan iklim dengan memanfaatkan sumber daya alam dan memimpin upaya adaptasi iklim regional," kata Alue dalam pidato pembukaan Pertemuan Menteri ke-5 Forum Regional Asia-Pasifik tentang Kesehatan dan Lingkungan (APRFHE) di Jakarta, 24 September lalu.

Secara nasional, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di 2020 total 192,5 juta ton CO2e.

Baca Juga: Memasuki Abad Asia, Jokowi Sebut Indonesia akan Jadi Superpower Ekonomi

Tapi, perjuangan belum berhasil. Sri Mulyani menekankan peran penting seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun swasta, dalam upaya dekarbonisasi. "Karena ini adalah upaya yang memerlukan biaya besar," katanya.

Menteri Keuangan mengungkapkan, Indonesia membutuhkan lebih dari Rp 4.000 triliun untuk menuntaskan komitmen pengurangan emisi CO2, khususnya transisi energi. Pembiayaan ini jelas tidak bisa berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) semata, sehingga memerlukan peningkatan peran dari swasta.

Sebab, dengan asumsi skenario terburuk, kalau upaya mengendalikan laju kenaikan suhu biasa-biasa saja, BMKG memproyeksikan, di 2100, kenaikan suhu di pulau-pulau besar di Indonesia bisa mencapai 3,5 derajat Celcius, atau lebih dari 2 kali lipat dari kenaikan rata-rata suhu global pada 2023 sekitar 1,4 derajat Celcius.

Dengan kenaikan suhu 1,4 derajat Celcius saja, bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor, sudah sering terjadi. Durasinya lebih panjang dan intensitas lebih kuat. Begitu juga dengan kekeringan, semakin sering terjadi di negara kita dengan durasi dan intensitas yang meningkat. 

"Kalau kenaikan suhu dua kali lipat lebih, anak cucu kita bagaimana nanti. Jadi, sebetulnya mengkhawatirkan kalau upaya pengendalian kenaikan suhu atau gas rumah kaca dilakukan tidak dahsyat, tidak masif," beber Dwikorita.

Eliza menambahkan, pemilihan sektor yang sesuai dengan kapasitas Indonesia adalah kunci dalam menurunkan emisi secara signifikan. "Alokasi anggaran dapat difokuskan pada inisiatif-inisiatif yang mendorong penggunaan transportasi publik, pengelolaan sampah terpadu, dan perlindungan ekosistem hutan," imbuhnya.

Aksi wajib terus berlanjut.

Selanjutnya: Bidik Nasabah Korea dan Lokal, Strategi Hana Bank untuk Jaga Pertumbuhan

Menarik Dibaca: Enggak Ada Hujan, Ini Proyeksi BMKG Cuaca Besok (17/10) di Jawa Barat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: S.S. Kurniawan