100 Tahun Perjanjian Versailles: Bagi Jerman Berakhir dengan Bencana



KONTAN.CO.ID - DW. Perjanjian Versailles ditandatangani 28 Juni 1919 oleh pihak Sekutu, yang dipimpin oleh trio Inggris, Prancis dan Rusia. Perjanjian itu secara resmi mengakhiri Perang Dunia I, setelah Jerman beberapa bulan sebelumnya, pada 11 November 1918 menandatangani "gencatan senjata" di Compiegne, kota kecil dekat Paris. Gencatan senjata itu secara teknis adalah kapitulasi Jerman pada pihak Sekutu.

Dalam perjanjian gencatan senjata di Compiegne ini, Jerman diwajibkan membayar reparasi perang senilai 20 miliar Goldmark – saat itu setara dengan harga 7.000 ton emas. Jumlah itu harus dibayar secara mengangsur dari tahun 1919 sampai 1921, sebuah persyaratan yang sangat memberatkan bagi Jerman. Tetapi Perjanjian Perdamaian Versailles membuat beban Jerman lebih berat lagi. Selain angsuran reparasi perang yang mesti dibayar, negara itu juga harus membayar biaya-biaya kerugian perang yang nilainya akan ditentukan belakangan.

Tambahan pula, selain membayar biaya kerugian perang, Jerman juga harus menyerahkan wilayah kekuasaannya antara lain beberapa wilayah jajahan di Afrika. Wilayah Elsass-Lothringen diserahkan kepada Prancis, dan Prusia barat yang sebagian besar diserahkan kepada Polandia.


Guncangan politik di Jerman karena Perjanjian Versailles

Bagi banyak warga Jerman, persyaratan Perjanjian Versailles adalah pukulan berat. Apalagi, perlakuan sekutu terhadap perwakilan politik dari Jerman dianggap sangat merendahkan.

Dalam perundingan di istana Versailles dekat Paris, wakil-wakil Jerman tidak mendapat jatah bicara. Mereka hanya diijinkan hadir sesaat saja untuk menandatangani perjanjian yang sebelumnya telah dirancang pihak sekutu. (Ilustrasi artikel: Lukisan penandatanganan Perjanjian Versailles oleh delegasi Jerman).

Di Jerman, Perjanjian Perdamaian Versailles lalu disebut-sebut sebagai "Perdamaian Diktat." Pihak Sekutu kemudian menetapkan biaya kerugian perang yang harus ditanggung Jerman adalah 132 miliar Mark. Pemerintahan sipil di Jerman yang baru saja terbentuk setelah runtuhnya kekuasaan kekaisaran, saat itu mengalami tekanan dari berbagai pihak karena menyetujui Perjanjian Versailles.

Krisis politik dan krisis ekonomi di Jerman, dipicu oleh krisis ekonomi global yang melanda dunia tahun 1930-an, akhirnya meruntuhkan pemerintahan sipil di Jerman dan menandai berakhirnya era "Republik Weimar."

Bangkitnya NAZI dan Adolf Hitler lewat partai NSDAP

Di bawah lilitan krisis ekonomi, pengangguran luas dan beratnya beban reparasi perang, koalisi pemerintahan sipil bubar. Akhirnya pada 5 Desember 1930 dilangsungkan pemilu baru. Pada pemilu itulah secara mengejutkan partai Adolf Hitler, NSDAP, muncul sebagai kekuatan kedua terbesar di parlemen dengan merebut 18,3 persen suara, di belakang  Sosialdemokrat SPD yang merebut 24,5 persen suara.

Kekalutan politik di Jerman selanjutnya ditandai dengan kegagalan kubu-kubu politik membentuk pemerintahan koalisi yang stabil. Situasi itulah yang akhirnya menuntun bangkitnya kekuasaan fasis.

Bulan Januari 1933, Presiden Jerman Paul von Hindenburg menyerahkan mandat pembentukan pemerintahan kepada Adolf Hitler dan partainya NSDAP, yang kemudian membentuk pemerintahan koalisi dengan partai-partai nasionalis dan anti-Yahudi. Parlemen yang dikuasai kubu nasionalis anti-Yahudi itu kemudian mengeluarkan UU Darurat untuk memperkuat kekuasaan Hitler. UU Darurat yang dinamakan Ermächtigungsgesetz itulah yang praktis meletakkan seluruh kewenangan eksekutif dan legislatif ke tangan Adolf Hitler.

Lalu apa pelajaran yang bisa dipetik dari Perjanjian Versailles 100 tahun lalu itu? Presiden  Prancis Emmanuel Macron memperingatkan bangkitnya lagi "monster-monster tua" dari era Perang Dunia I sampai pecahnya Perang Dunia II. Yang dimaksud adalah kebangkitan nasionalisme, populisme dan gaya otoriter baru di Eropa belakangan ini.

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti