KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebanyak 12 perusahaan unggas yang menandatangani perjanjian pengafkiran induk ayam dinyatakan tidak melakukan monopoli. Keputusan ini keluar dari Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi dari Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) terkait dugaan kartel ayam. Dalam pertimbangannya, Majelis Kasasi yang dipimpin Hakim Hamdi menilai, perjanjian pengafkiran tak melanggar UU 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalil inilah yang digunakan KPPU untuk menuding perusahaan unggas melakukan kartel, yang ujungnya menaikkan harga ayam dan telur di pasar. "Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi; Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU)," kata Ketua Hakim Majelis Kasasi Hamdi, sebagaimana dikutip dari salinan putusan, Kamis (6/9).
Pengafkiran dini tersebut, menurut Hakim Hamdi, merupakan instruksi pemerintah dalam hal ini Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI. Menanggapi putusan, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Krissantono bilang, pertimbangan majelis kasasi tepat. Sebab, perjanjian memang instruksi pemerintah. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Ia menjelaskan, perkara tersebut mulanya berawal dari tak seimbangnya ketersediaan dan permintaan ayam pedaging alias broiler. Makanya, Kemtan merilis Surat Edaran agar perusahaan peternakan ayam broiler memangkas ketersediaan. "Esensinya ketika itu, keseimbangan
supply-demand goyah, waktu itu dinyatakan
oversupply (kelebihan pasokan) makanya perlu ada pemotongan. Agar lebih efektif, indukan yang dipotong. Tapi ini tak menjadi pertimbangan Majelis KPPU waktu itu, karena instruksinya hanya berupa surat edaran Dirjen," kata Krissantono saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (6/9). Makanya, dia turut mengapresiasi putusan kasasi oleh Mahkamah Agung tersebut. Pun Kris memberikan catatan, bahwa sejatinya dalam kasus ini, proses hukum yang dilakukan KPPU lemah. Sebab, KPPU menggarap semua fungsi. "Bukan kami tidak mau dikontrol KPPU. Silakan. Tapi tolong KPPU kembali ke fungsi pengawasannya. Kalau soal ini kan kemarin mereka punya fungsi sebagai polisi, jaksa, dan hakim. Mereka yang menyelidiki, menyidik, dan juga mengadili. Ini bentuk tirani hukum," lanjutnya. Tudingan KPPU Sekadar mengingatkan, KPPU memutuskan 12 perusahaan bersalah pada 13 Oktober 2016 lalu. 12 perusahaan diputuskan melanggar pasal 11, UU 5/1999 lantaran telah melakukan penandatanganan perjanjian pengafkiran parent stock tadi. Sementara pasal 11 tersebut berbunyi: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Sebanyak 12 perusahaan tersebut adalah: PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN); PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA); PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN); PT CJ-PIA; PT Taat Indah Bersinar; PT Cibadak Indah Sari Farm; PT Hybro Indonesia; PT Expravet Nasuba; PT Wonokoyo Jaya Corporindo; CV Missouri; PT Reza Perkasa; dan PT Satwa Borneo Jaya. Selain dinyatakan bersalah, 12 perusahaan ini juga dihukum untuk membayar ganti rugi senilai total Rp 118,43 miliar. Setelah diputuskan bersalah, 12 perusahaan tersebut kemudian mengajukan bantahan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. 29 November 2017, Pengadilan Negeri Jakarta Barat mengabulkan permohonan, dan membatalkan putusan KPPU. Atas putusan tersebut, KPPU kemudian mengajukan kasasi pada 11 Desember 2017. Hingga akhirnya, Mahkamah Agung menolak kasasi pada 15 Mei 2018. Beberapa perusahaan dari 12 perusahaan terkait tadi, masih enggan berkomentar terkait putusan saat dimintai konfirmasinya oleh Kontan.co.id. Alasannya belum menerima salinan putusan resmi dari Mahkamah Agung. "Kami belum menerima putusan resmi, baru mengetahuinya dari laman Mahkamah Agung. Jadi untuk saat ini belum bisa berkomentar," kata Sekretaris Perusahaan Japfa Comfeed Maya Pradjono ketika dihubungi Kontan.co.id.
"Saya sedang berada di luar negeri," balas pesan pendek CEO Charoen Pokphand Tjiu Thomas Effendy saat dimintai tanggapan oleh Kontan.co.id. Sementara terkait putusan dengan nomor perkara 444 K/Pdt.Sus-KPPU/2018 ini, Komisioner KPPU Chandra Setiawan bilang, KPPU akan menggelar rapat komisioner untuk membahasnya. Termasuk apakah KPPU akan melakukan upaya hukum selanjutnya. "Saya belum bisa jawab karena harus diputuskan oleh Rapat Komisioner. Nanti setelah kami pelajari dan dibawa ke rapat, akan saya kabari," kata Chandra saat dihubungi Kontan.co.id. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia