JAKARTA. Terhitung mulai 15 September 2011, 14 produk turunan crude palm oil (CPO) bakal dikenai harga patokan ekspor (HPE). Penetapan tersebut bertujuan menjamin terpenuhinya kebutuhan bahan baku industri minyak goreng dan menjaga stabilitas harga minyak goreng. Selain itu juga untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Direktur Ekspor Komoditas Pertanian dan Perkebunan Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Yamanah A.C menjelaskan tarif bea keluar (BK) baru itu berpedoman pada harga referensi yang didasarkan pada harga rata-rata CPO CIF Rotterdam, harga rata-rata CPO bursa Malaysia dan/atau harga rata-rata CPO bursa Jakarta, satu bulan sebelum penetapan HPE. "Harga referensi produk turunan CPO sebesar US$ 1.071,68 per metrik ton," kata Yamanah, Kamis (15/9). Penetapan HPE atas 14 produk turunan CPO itu tertuang dalam peraturan kementerian perdagangan Nomor 26/M-DAG/9/2011 yang merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128 tahun 2011. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Gunaryo yang saat ini menjabat Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan menjelaskan harga referensi baru tersebut hanya dipakai untuk 14 produk turunan baru. Sedangkan harga referensi CPO yang aktual untuk 15-30 September tetap mengacu pada Permendag No.22/2011 yakni sebesar 1.085,16 dolar AS per metrik ton mengacu pada aturan penetapan tarif bea keluar yang lama dengan pajak ekspor 15%. Salah satu pelaku usaha CPO, Joko Supriyono menganggap aturan BK keluar yang baru berlebihan dan kurang efektif dalam mendorong industri hilir kelapa sawit nasional. Pasalnya, 14 produk turunan tersebut merupakan produk hilir. "Pemerintah dalam hal ini masih ambigu. Jika ingin mengembangkan produk hilir kenapa harus dikenai pajak?. Seharusnya pemerintah mendorong keleluasaan ekspor produk hilir dengan membebaskannya dari tarif,” saran Joko. Salah satu 14 produk turunan yang dikenai pajak ekspor adalah bungkil kelapa sawit. Joko berujar, berlakunya BK terhadap bungkil sawit juga berlebihan. Pasalnya, bungkil sawit merupakan limbah yang kalau tidak dipakai biasanya dibuang. Selain itu juga permintaan di dalam negeri hanya untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak. "Bungkil sawit tidak banyak yang memproduksi karena harganya murah tetapi ongkos logistiknya di dalam negeri lebih mahal," jelas Joko. Harga bungkil sawit di dalam negeri sebesar Rp 700 per kg.
14 produk turunan baru CPO bakal dikenai pajak ekspor
JAKARTA. Terhitung mulai 15 September 2011, 14 produk turunan crude palm oil (CPO) bakal dikenai harga patokan ekspor (HPE). Penetapan tersebut bertujuan menjamin terpenuhinya kebutuhan bahan baku industri minyak goreng dan menjaga stabilitas harga minyak goreng. Selain itu juga untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Direktur Ekspor Komoditas Pertanian dan Perkebunan Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Yamanah A.C menjelaskan tarif bea keluar (BK) baru itu berpedoman pada harga referensi yang didasarkan pada harga rata-rata CPO CIF Rotterdam, harga rata-rata CPO bursa Malaysia dan/atau harga rata-rata CPO bursa Jakarta, satu bulan sebelum penetapan HPE. "Harga referensi produk turunan CPO sebesar US$ 1.071,68 per metrik ton," kata Yamanah, Kamis (15/9). Penetapan HPE atas 14 produk turunan CPO itu tertuang dalam peraturan kementerian perdagangan Nomor 26/M-DAG/9/2011 yang merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128 tahun 2011. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Gunaryo yang saat ini menjabat Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan menjelaskan harga referensi baru tersebut hanya dipakai untuk 14 produk turunan baru. Sedangkan harga referensi CPO yang aktual untuk 15-30 September tetap mengacu pada Permendag No.22/2011 yakni sebesar 1.085,16 dolar AS per metrik ton mengacu pada aturan penetapan tarif bea keluar yang lama dengan pajak ekspor 15%. Salah satu pelaku usaha CPO, Joko Supriyono menganggap aturan BK keluar yang baru berlebihan dan kurang efektif dalam mendorong industri hilir kelapa sawit nasional. Pasalnya, 14 produk turunan tersebut merupakan produk hilir. "Pemerintah dalam hal ini masih ambigu. Jika ingin mengembangkan produk hilir kenapa harus dikenai pajak?. Seharusnya pemerintah mendorong keleluasaan ekspor produk hilir dengan membebaskannya dari tarif,” saran Joko. Salah satu 14 produk turunan yang dikenai pajak ekspor adalah bungkil kelapa sawit. Joko berujar, berlakunya BK terhadap bungkil sawit juga berlebihan. Pasalnya, bungkil sawit merupakan limbah yang kalau tidak dipakai biasanya dibuang. Selain itu juga permintaan di dalam negeri hanya untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak. "Bungkil sawit tidak banyak yang memproduksi karena harganya murah tetapi ongkos logistiknya di dalam negeri lebih mahal," jelas Joko. Harga bungkil sawit di dalam negeri sebesar Rp 700 per kg.