KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penolakan terhadap kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025, terus bergulir di kalangan masyarakat. Walaupun pemerintah telah mengumumkan bahwa tarif PPN 12% akan tetap diterapkan, warganet tetap menunjukkan protesnya melalui petisi online. Petisi berjudul "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" yang diinisiasi oleh kelompok Bareng Warga di platform Change.org, telah berhasil mengumpulkan 179.052 tanda tangan sejak pertama kali dibuat pada 19 November 2024 hingga berita ini diturunkan.
Baca Juga: PPN Jadi 12%, Pemerintah Optimis Inflasi Tetap Terkendali Petisi ini mencerminkan keresahan banyak pihak terhadap kebijakan yang dianggap akan memberatkan, terutama bagi kelompok masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Menurut Bareng Warga, salah satu penggagas petisi, kenaikan tarif PPN 12% diperkirakan akan mendorong lonjakan harga barang dan jasa. Hal ini, menurut mereka, akan semakin menggerus daya beli masyarakat yang sudah terbebani oleh kondisi ekonomi saat ini. "Kalau PPN terus dipaksakan naik, niscaya daya beli bukan lagi merosot, melainkan terjun bebas," tulis Akun Bareng Warga, dikutip Senin (23/12). Penolakan ini mencerminkan keresahan terkait dampak langsung kebijakan PPN 12% terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat, yang dipandang akan memperburuk daya beli dan memperlebar kesenjangan ekonomi. Meskipun pemerintah telah berjanji akan memberikan beberapa insentif untuk meringankan beban, seperti pembebasan PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok, petisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih merasa kebijakan tersebut akan menambah kesulitan.
Baca Juga: PPN QRIS 12% Bikin Harga yang Dibayar Makin Mahal? DJP Beri Penjelasan Hingga saat ini, petisi penolakan ini masih terus mendapat perhatian dari berbagai kalangan, yang berharap agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan yang dirasa memberatkan bagi banyak pihak. Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan ekonomi untuk mengompensasi kenaikan tarif PPN 12%. Hanya saja, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) memandang, beberapa insentif yang dipaparkan disebut tidak relevan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan lebih banyak menguntungkan kelompok ekonomi menengah atas. Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Iskandar, banyak dari paket kebijakan yang sebenarnya bukanlah hal baru dan sudah berjalan, seperti stimulus untuk UMKM dan insentif untuk sektor otomotif. Namun, skema bantuan tersebut dianggap tidak inklusif dan tidak dirancang untuk mencakup masyarakat bawah.
Baca Juga: Masih Ramai Penolakan, Ditjen Pajak Rilis Penjelasan Lengkap soal PPN 12% Sebagai contoh, pemerintah menawarkan diskon Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian rumah dengan harga jual hingga Rp 5 miliar. Diskon ini mencakup penghapusan PPN sebesar 100% untuk Rp 2 miliar pertama selama Januari–Juni 2025, dan pengurangan 50 persen untuk periode Juli–Desember 2025. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa rumah dengan harga tersebut di luar jangkauan masyarakat miskin. Media mengatakan, masyarakat berpenghasilan rendah hanya mampu membeli rumah subsidi dengan harga jauh di bawah Rp500 juta. Oleh karena itu, diskon PPN ini lebih relevan bagi kelompok yang mampu membayar uang muka dan cicilan rumah di kisaran harga tersebut, bukan untuk masyarakat miskin.
"Dengan kata lain, kelompok masyarakat miskin belum tentu menikmati diskon tersebut," ujar Media dalam keterangannya, Minggu (22/12).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .