KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal genap dua tahun dinakhodai Menteri ESDM, Arifin Tasrif pada bulan Oktober ini. Seiring masa kepemimpinannya sebagai menteri, kinerja Kementerian ESDM di sektor energi baru dan terbarukan (EBT) mendapat apresiasi dari sejumlah kalangan pelaku usaha. Ketua Asosiasi PLTMH Riza Husni menilai, kinerja Kementerian ESDM di masa kepemimpinan Arifin sangat baik. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya sejumlah kebijakan-kebijakan yang dinilai berpihak kepada pemanfaatan EBT. Mulai dari Peraturan Menteri ESDM No. 20 Tahun 2020 mengenai aturan jaringan (
grid code), penambahan porsi pembangkit EBT sebesar 51,6% dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN hingga Peraturan Menteri (Permen) ESDM mengenai Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.
“Kalau saya pikir
milestone yang ditunjukkan oleh Kementerian ESDM sudah merupakan 1 pesan kepada siapapun di PLN, pembuat kebijakan, dan juga di Kementerian BUMN selaku yang menentukan KPI daripada PLN bahwa EBT itu merupakan
policy daripada negara,” kata Riza kepada Kontan.co.id, Kamis (14/10).
Baca Juga: Kementerian ESDM gunakan lima strategi guna capai net zero emission di 2060 Pandangan serupa juga disampaikan Ketua Dewan Pakar Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Arya Rezavidi. Menurutnya, perubahan skema tarif ekspor-impor listrik net-metering dari semula 0,65:1 menjadi 1:1 yang diatur dalam Permen PLTS Atap sangat positif bagi konsumen pengguna PLTS atap. “Terus kemudian juga RUPTL, RUPTL PLN yang 2021-2030 itu benar kita sebut green energy RUPTL, dan untuk energi surya cukup tinggi targetnya,” imbuh Arya saat dihubungi Kontan.co.id (14/10). Seperti diketahui, RUPTL PLN 2021-2030 yang disahkan melalui Keputusan Menteri ESDM nomor 188.K/HK.02/MEM.L/2021 tanggal 28 September 2021. Dalam RUPTL tersebut, porsi energi baru terbarukan (EBT) pada rencana pembangkit baru mencapai 51,6% atau 20.923 MW, sementara sisanya dari pembangkit fosil 48,4% atau 19.652 MW. Secara terperinci, PLTA/PLTM/PTMH memiliki komposisi terbesar hingga 25,6% atau 10.391 MW. Diikuti PLTS sebesar 11,5% atau 4.680 MW. Kemudian, PLTP 8,3% atau 3.355 MW, dan sisanya dari PLT EBT base, PLTB, dan lainnya. Sementara itu, Permen PLTS Atap mengatur sejumlah hal, termasuk di antaranya skema tarif ekspor-impor listrik net-metering. Pada aturan sebelumnya, yakni Permen ESDM Nomor 49/2018, ketentuan tarif net-metering ditentukan sebesar 0,65:1. Dengan ketentuan itu, konsumen yang mengkonsumsi alias mengimpor listrik dari PLN akan dikenakan tarifnya adalah X per kWh, sementara ekspor listrik dari pengguna PLTS atap ke PLN dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 0,65 alias 65%. Perhitungan energi listrik pelanggan PLTS Atap dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih antara nilai kWh impor dengan nilai kWh ekspor. Dengan adanya aturan anyar PLTS atap berikut skema ketentuan net metering ekspor-impor 1:1, PLN wajib membeli listrik pelanggan dengan harga penuh alias 100% dari tarif.
Menanti Perpres dan Undang-Undang EBT
Terlepas dari kinerja positif Kementerian ESDM pada 2 tahun terakhir, pelaku usaha menilai bahwa pemerintah masih memiliki sejumlah ‘pekerjaan rumah’ yang perlu diselesaikan. Riza menuturkan, pihaknya masih menantikan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) soal EBT. Menurutnya, kehadiran perpres ini bisa mendorong pelaksanaan lelang proyek PLTA yang menurut Riza tersendat. Pasalnya, Riza mencatat bahwa sejumlah proyek PLTA yang masuk dalam RUPTL dan dijadwalkan bisa beroperasi pada tahun 2025 mendatang belum juga memasuki tahapan lelang hingga saat ini. “Di dalam Perpres yang akan terbit nanti, kalau sesuai dengan draftnya ada banyak pengaturan-pengaturan mengenai pelaksanaan penunjukannya (lelang),”terang Riza. Selain itu, Riza percaya bahwa kehadiran Perpres EBT juga akan membuat iklim berusaha menjadi lebih pasti, sebab peraturan ini mengatur soal harga jual beli listrik EBT antara Independent Power Producer (IPP) dengan PLN. Harapan Riza, Perpres EBT ini nantinya juga bisa memuat ketentuan tarif minimum atau floor price jual beli listrik EBT dengan PLN agar “Dengan (ketentuan) tarif paling rendah (floor price) orang bisa berhitung, oke setidak-tidaknya saya akan dibayar sekian, atau dia berharap ya mungkin saya akan bisa negosiasi 10% atau 20% di atas tarif paling rendah karena misalnya PLN butuh di daerah situ,” ungkap Riza. Senada dengan Riza, Arya juga berharap Perpres EBT dan Undang-Undang (UU)EBT bisa segera terbit. Arya bilang, pihaknya telah mengusulkan ketentuan harga yang lebih menguntungkan bagi IPP agar bisa dimuat dalam Perpres EBT, sementara kehadiran UU EBT diharapkan bisa memberi payung hukum dengan penjabaran aturan EBT yang lebih detail dibanding UU tentang Energi.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan, Rancangan Perpres EBT telah melalui pembahasan lintas Kementerian/Lembaga dan harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM. Saat ini statusnya menunggu persetujuan Menteri Keuangan, khususnya perihal dampak implementasi ketentuan harga dalam Rancangan Perpres terhadap keuangan negara berdasarkan RUPTL PLN 2021-2030 yang baru saja diterbitkan. “Pemerintah juga sedang dalam proses pembahasan Undang-Undang EBT dan status saat ini masih dalam penyusunan oleh DPR RI. Pemerintah menunggu usulan draft RUU EBT dari DPR RI.” imbuh Dadan kepada Kontan.co.id, Kamis (14/10).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat