2 Tahun Jokowi-JK: Daya beli menjadi tantangan



JAKARTA. Beban berat ekonomi masih membayangi pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Dua tahun berlalu, Jokowi-JK dihadapkan pada pelemahan ekonomi global dan penurunan harga komoditas.

Selain membuat kinerja ekspor turun, harga komoditas turun membuat industri andalan yaitu pertambangan, migas, dan perkebunan kurang darah. Di sisi lain, kondisi internal tidak cukup kuat mendongkrak pertumbuhan lebih tinggi.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, belanja modal pemerintah belum memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi. Inflasi yang rendah menunjukkan kondisi ekonomi belum pulih. "Di satu sisi, inflasi rendah mendukung daya beli masyarakat, di sisi lain juga menunjukkan bahwa kondisi ekonomi belum pulih," katanya, Minggu (16/10).


Inflasi yang rendah belum cukup kuat memperbaiki daya beli. Sebab, secara riil, harga barang dan jasa bertahan pada level tinggi atau bahkan naik. Kegiatan investasi juga stagnan. Inilah sebabnya Bank Indonesia (BI) memasang batas bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga 2016 menjadi 4,9%-5,1%. Padahal sebelumnya, BI yakin proyeksi pertumbuhan kuartal III di kisaran 5,1%.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung menjelaskan, perkiraan itu sejalan dengan berkurangnya stimulus pertumbuhan yang berasal dari pemerintah. Seperti diketahui, belanja pemerintah dipangkas dua kali, Rp 50 triliun dan Rp 137,6 triliun pada tahun ini. "Investasi relatif tidak banyak berubah, masih lemah," katanya. Survei BI juga menunjukkan, kegiatan dunia usaha kuartal ketiga pertumbuhan lebih lambat dibanding kuartal sebelumnya.

Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistiningsih menambahkan, dalam dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, perbaikan memang ada. "Siklus terendah di 2015, tetapi tantangannya masih cukup banyak," katanya. Empat visi Nawacita, yaitu ketahanan pangan, energi, ekonomi maritim, dan pembangunan infrastruktur, belum semuanya tercapai.

Inflasi rendah yang terjadi selama ini terutama lebih disebabkan penurunan harga komoditas pangan. "Penyediaan pangan juga masih dipasok dari impor, bukan karena produksi dalam negeri," katanya. Ketahanan energi juga disebabkan harga minyak mentah dunia yang turun, sementara realisasi infrastruktur masih jauh dari target. Implementasi paket kebijakan ekonomi juga belum berjalan maksimal.

Deputi III Kantor Staf Presidenan Denni Pusba Purbasari bilang, pemerintah akan fokus menjaga kestabilan harga pangan yang berdampak pada kemampuan belanja masyarakat. "Akan ada reformasi subsidi beras untuk masyarakat miskin agar beli daya beli rumah tangga miskin naik dan membuat swasta bergerak mengisi permintaan komoditas subsidi yang selama ini disalurkan Bulog," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia