JAKARTA. Penurunan angka kemiskinan dan kesenjangan sosial sampai dengan dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo masih menghadapi tantangan besar. Tantangan tersebut salah satunya berkaitan dengan anggaran. Khofifah Indar Parawansa, Menteri Sosial mengatakan, khusus program pengentasan kemiskinan melalui Program Keluarga Harapan (PKH) yang dijalankan Kementerian Sosial (Kemsos) misalnya, terbentur masalah anggaran sehingga tak maksimal. Terlebih, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2016 lalu, anggaran Kemsos dipangkas sebesar Rp 800 miliar. Menurut Khofifah, pemangkasan tersebut membuat campur tangan pemerintah ideal terhadap pengeluaran rumah tangga miskin berkurang. "Idealnya 16% sampai 19% dari pengeluaran keluarga, sebelum pengurangan kami sudah mampu intervensi 14,5%, tapi dengan pemangkasan intervensi berkurang menjadi tinggal 9,7%," katanya, Selasa (18/10).
Selain mendapat tantangan dari anggaran, pengentasan kemiskinan juga mendapat tantangan dari pelaksanaan program yang tidak terpusat dan tersebar di beberapa kementerian, seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) oleh Kementerian Kesehatan (Kemkes) dan Kartu Indonesia Pintar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Khofifah mengatakan, hal tersebut perlu disinergikan. Tujuannya supaya intervensi program pemberdayaan sosial dan penanganan fakir miskin di beberapa kementerian dan lembaga bisa menyasar penerima yang sama. Meskipun mendapat ganjalan tersebut, Khofifah memandang, program pengentasan kemiskinan yang dilakukan sampai saat ini cukup efektif. Hal ini bisa dilihat dari penurunan data angka kemiskinan yang Maret 2016 lalu yang tinggal 10,86% atau turun 0,36% jika dibandingkan dengan Maret 2014 yang mencapai 11,22%. Denni Puspa Purbasari, Deputi III Kantor Staf Presiden selain kemiskinan yang turun, ketimpangan antara kaya dan miskin juga semakin mengecil. Berdasarkan data olahan Badan Pusat Statistik (BPS), ketimpangan antara kaya dan miskin yang diukur melalui rasio gini, bisa turun dari yang Maret 2014 lalu yang berada di level 0,41 menjadi 0,39 pada Maret 2016. Dari sisi pengangguran, pada dua tahun pertama pemerintahan Presiden Jokowi, angkanya juga sudah bisa ditekan. Jika pada Agustus 2014 angka pengangguran mencapai 5,94%, Februari 2016 kemarin angka pengangguran berhasil turun sampai 5,5%. "Dalam penurunan pengangguran ini memang masih ada tantangan; bagaimana menciptakan lapangan kerja berkualitas, karena sekarang banyak yang kerja di sektor informal," katanya. Belum efektif di perdesaan Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Sairi mengatakan, penurunan persentase penduduk miskin di kota jauh lebih cepat dibanding di pedesaan. "Di kota pada Maret 2014 menunjukkan persentase kemiskinan sebesar 8,34% atau turun sekitar 0,55 poin dibanding Maret tahun ini yang sebesar 7,79%," ungkap Sairi. Sementara di perdesaan penurunan persentase penduduk miskin hanya 0,26 poin pada periode yang sama yakni 14,37% di Maret 2014 menjadi 14,11% di Maret 2016. Menurut Sairi, lambannya penurunan persentase penduduk penduduk miskin di perdesaan diduga kuat terkait dengan lambannya kenaikan upah buruh tani dan tingginya jumlah petani gurem, terutama di perdesaan di Jawa.
Hanya saja, Sri Palupi, peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights bilang, kebijakan yang dibuat pemerintah saat ini belum bisa efektif mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial. Sebab, rasio gini bukan satu-satunya indikator melihat kesenjangan sosial. Penurunan nilai tukar petani serta semakin berkuasanya korporasi di bidang perkebunan, pertambangan, industri, dan lain-lain di daerah menjadi gambaran soal tidak efektifnya program menurunkan kesenjangan sosial. Untuk itu, pemerintah perlu mengarahkan kebijakan sosial ini ke perdesaan dengan mengedepankan sektor pertanian. Sebab penyumbang jumlah orang miskin ada di desa dan petani. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia