20 Tahun Tsunami Aceh: Harapan Seorang Ibu yang Tak Pernah Padam



KONTAN.CO.ID - BANDA ACEH. Pada 26 Desember 2004, dunia dikejutkan dengan salah satu bencana alam terburuk dalam sejarah: tsunami besar yang dipicu oleh gempa bumi bermagnitudo 9.1 di Samudra Hindia.

Gelombang tsunami yang menghancurkan itu menelan lebih dari 230.000 korban jiwa, dengan lebih dari separuhnya berasal dari Provinsi Aceh, Sumatra, Indonesia.

Saudah, seorang ibu dari delapan anak, menyaksikan secara langsung kekejaman bencana ini yang merenggut sebagian besar keluarganya, termasuk putra bungsunya, Muhammad Siddiq.

Momen Menghancurkan di Tengah Gelombang Tsunami


Saudah, yang kini berusia 64 tahun, masih ingat jelas momen saat gelombang tsunami mendekat.

Ia menggenggam erat putra bungsunya, Siddiq, yang baru berusia enam tahun saat itu. Ketika gempa pertama mengguncang dan tetangga berlari panik, Saudah mencoba melindungi anak-anaknya.

Baca Juga: Gempa Megathrust Tinggal Menunggu Waktu Bukan Proyeksi tapi Potensi

"Saya tidak lari. Saya berbaring sambil memeluk Siddiq erat-erat dan saya kira itu hanya angin," kenang Saudah dengan suara bergetar.

Tak lama setelah itu, gelombang besar datang seperti ular raksasa, memporak-porandakan segalanya. Ia berlari dengan Siddiq menuju masjid, namun begitu tiba, gelombang itu menyapu mereka, memisahkan Saudah dari anak bungsunya.

Kehilangan dan Harapan yang Tak Pernah Padam

Setelah tsunami mereda, Saudah menemukan enam dari delapan anaknya yang selamat. Namun, Siddiq dan satu lagi putrinya tidak pernah ditemukan.

Putrinya diduga terkubur dalam kuburan massal, sementara Siddiq, meskipun tidak ditemukan, dipercaya masih hidup.

Beberapa saksi selamat mengabarkan bahwa mereka melihat Siddiq di antara 500.000 orang yang terpaksa mengungsi akibat bencana tersebut.

Bahkan suami Saudah sering bermimpi tentang Siddiq yang mengatakan bahwa ia masih hidup.

Baca Juga: 7 Tempat Wisata di Banda Aceh, Pernah Ke Museum Tsunami Aceh?

Mempertahankan Harapan di Tengah Keputusasaan

Meskipun telah 20 tahun berlalu, Saudah dan keluarganya tidak pernah berhenti berharap bahwa Siddiq akan kembali. Saudah masih menantikan putranya di rumah baru mereka, yang dibangun di tempat rumah lama mereka berdiri.

"Kami terus mencari dia, dan saya selalu mengunggah foto Siddiq di media sosial," kata Femi Malisa, anak Saudah yang berusia 42 tahun.

"Jika dia masih hidup, saya berharap dia akan kembali ke rumah," tambahnya.

Harapan ini, meskipun kecil, terus menyala dalam hati keluarga Saudah, yang tak pernah melepaskan keyakinan bahwa mereka akan dipertemukan kembali dengan Siddiq, sang putra yang hilang.

Baca Juga: BMKG Rilis Daftar Wilayah yang Berpotensi Gelombang Tinggi sampai 4 Meter

Mengingat Korban dan Pengorbanan yang Tak Terhitung

Bencana tsunami 2004 tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga meninggalkan luka mendalam bagi banyak keluarga.

Saudah adalah salah satu contoh keteguhan hati seorang ibu yang tak pernah menyerah pada takdir, meskipun ia harus menghadapi kenyataan pahit kehilangan anaknya.

Keberanian dan harapan Saudah adalah gambaran nyata dari kekuatan manusia dalam menghadapi bencana, serta contoh kasih sayang seorang ibu yang tak kenal lelah menunggu kepulangan anaknya, meskipun waktu telah berlalu begitu lama.

Selanjutnya: Prakiraan Cuaca Jawa Timur Terbaru: Surabaya, Madiun, Malang dan Wilayah Lain

Menarik Dibaca: Katalog Promo Alfamidi Hemat Satu Pekan Spesial Natal Periode 23-29 Desember 2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .