JAKARTA. Tak hanya Amerika, semua negara juga ikut merasakan dampak dari penantian tentang kepastian kebijakan yang bakal Barack Obama, Presiden Amerika terpilih ambil untuk memperbaiki perekonomian di negaranya. Di Indonesia, produsen sepatu yang selama ini dipercaya memproduksi sepatu merek Nike dan Adidas terpangkas pesanan hingga 10% untuk tahun depan. Kendati begitu, secara keseluruhan pemegang merek Nike dan Adidas tetap menjanjikan mereka bakal tetap mengutamakan pesanan ke Indonesia dibandingkan China dan Vietnam. "Turunnya pesanan ini lantaran mereka ingin melihat dulu kebijakan seperti apa yang bakal Barack Obama ambil, tapi mereka tetap dengan komitmen awalnya ke kita," kata Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Wdjanarko, Minggu (21/12). Namun, Eddy tak menyebut nilai pesanan maupun jumlah pesanan yang terpangkas itu. Eddy menyebutkan, industri sepatu di dalam negeri terbagi dua. Pertama, produsen yang terbiasa menerima pesanan sepatu bermerek seperti Nike dan Adidas. Kedua, produsen yang memproduksi sepatu tak bermerek. Nah, untuk produsen sepatu bermerek sejauh ini belum terlalu banyak masalah. Hal yang terjadi baru sebatas pengurangan pesanan sebagai imbas krisis seperti dari Nike dan Adi. Namun, secara keseluruhan kinerjanya masih baik. Itu terutama karena mendapatkan dukungan dari pembeli yang bersedia memberikan jaminan seperti Letter of Credit (L/C). Hal berbeda dialami produsen sepatu tak bermerek. Kondisinya benar-benar terpuruk. Tak hanya penjualan yang menurun, pada saat mendapatkan pesanan mereka juga sulit melaksanakannya. Itu karena, para pemasok bahan baku memperketat kebijakannya. Mereka tak lagi memberikan kepercayaan dan baru bersedia memasok bahan baku bila ada pembayaran di muka. "Jika dulu kita bisa membayar 2-3 bulan ke depan. sekarang tak mungkin lagi, ada uang baru ada barang," ujar Eddy. Memang, masalah likuiditas merupakan masalah utama dalam industri sepatu dalam negeri. Eddy menyebut, pada industri sepatu ada dua hal yang mempengaruhinya, yakni tenaga kerja dan likuiditas. Ketidakpastian kebijakan tenaga kerja terutama menyangkut upah memberi permasalahan tersendiri. Sementara pada likuiditas, imbas krisis membuat perbankan memperketat likuiditas mereka, salah satunya perihal pembukaan L/C. Secara keseluruhan, pengusaha memperkirakan ekspor sepatu pada tahun depan bakal terpangkas 15% hingga 20% dari nilai perolehan tahun ini yang sebesar US$ 1,8 miliar. Amerika adalah tujuan utama ekspor sepatu Indonesia. Negara tujuan ekspor kedua adalah Uni Eropa. Tahun ini, total nilai ekspor sepatu sebesar US$ 1,6 miliar. Pasar Amerika mencuwil sebesar 60%, sementara Eropa menggaet 30% dan sisanya sebesar 10% ke negara lain.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
2009, Pesanan Nike dan Adidas Terpangkas 10 Persen
JAKARTA. Tak hanya Amerika, semua negara juga ikut merasakan dampak dari penantian tentang kepastian kebijakan yang bakal Barack Obama, Presiden Amerika terpilih ambil untuk memperbaiki perekonomian di negaranya. Di Indonesia, produsen sepatu yang selama ini dipercaya memproduksi sepatu merek Nike dan Adidas terpangkas pesanan hingga 10% untuk tahun depan. Kendati begitu, secara keseluruhan pemegang merek Nike dan Adidas tetap menjanjikan mereka bakal tetap mengutamakan pesanan ke Indonesia dibandingkan China dan Vietnam. "Turunnya pesanan ini lantaran mereka ingin melihat dulu kebijakan seperti apa yang bakal Barack Obama ambil, tapi mereka tetap dengan komitmen awalnya ke kita," kata Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Wdjanarko, Minggu (21/12). Namun, Eddy tak menyebut nilai pesanan maupun jumlah pesanan yang terpangkas itu. Eddy menyebutkan, industri sepatu di dalam negeri terbagi dua. Pertama, produsen yang terbiasa menerima pesanan sepatu bermerek seperti Nike dan Adidas. Kedua, produsen yang memproduksi sepatu tak bermerek. Nah, untuk produsen sepatu bermerek sejauh ini belum terlalu banyak masalah. Hal yang terjadi baru sebatas pengurangan pesanan sebagai imbas krisis seperti dari Nike dan Adi. Namun, secara keseluruhan kinerjanya masih baik. Itu terutama karena mendapatkan dukungan dari pembeli yang bersedia memberikan jaminan seperti Letter of Credit (L/C). Hal berbeda dialami produsen sepatu tak bermerek. Kondisinya benar-benar terpuruk. Tak hanya penjualan yang menurun, pada saat mendapatkan pesanan mereka juga sulit melaksanakannya. Itu karena, para pemasok bahan baku memperketat kebijakannya. Mereka tak lagi memberikan kepercayaan dan baru bersedia memasok bahan baku bila ada pembayaran di muka. "Jika dulu kita bisa membayar 2-3 bulan ke depan. sekarang tak mungkin lagi, ada uang baru ada barang," ujar Eddy. Memang, masalah likuiditas merupakan masalah utama dalam industri sepatu dalam negeri. Eddy menyebut, pada industri sepatu ada dua hal yang mempengaruhinya, yakni tenaga kerja dan likuiditas. Ketidakpastian kebijakan tenaga kerja terutama menyangkut upah memberi permasalahan tersendiri. Sementara pada likuiditas, imbas krisis membuat perbankan memperketat likuiditas mereka, salah satunya perihal pembukaan L/C. Secara keseluruhan, pengusaha memperkirakan ekspor sepatu pada tahun depan bakal terpangkas 15% hingga 20% dari nilai perolehan tahun ini yang sebesar US$ 1,8 miliar. Amerika adalah tujuan utama ekspor sepatu Indonesia. Negara tujuan ekspor kedua adalah Uni Eropa. Tahun ini, total nilai ekspor sepatu sebesar US$ 1,6 miliar. Pasar Amerika mencuwil sebesar 60%, sementara Eropa menggaet 30% dan sisanya sebesar 10% ke negara lain.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News