KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) berencana akan mulai mengekspor edamame beku di awal 2019. Austindo Nusantara menargetkan akan mengekspor edamame beku sebanyak 1.600 ton. Pasar ekspor yang ditarget adalah Jepang, Amerika Serikat, dan Australia. Selama ini anak usaha ANJT, PT Gading Mas Indonesia Teguh (GMIT) yang memproduksi edamame baru memproduksi edamame sebanyak 1.600 ton. Edamame ini pun hanya dipasarkan di dalam negeri, seperti di Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Jawa Tengah. Menurut Direktur Utama GMIT, Jahya Lukas, edamame tidak bisa diproduksi dalam jumlah yang banyak karena edamame merupakan produk segar. "Produksi kita belum bisa besar karena kita belum memiliki pabrik pengolahan edamame beku," jelas Jahya. Karena itulah, dalam memasuki pasar ekspor edamame beku ini, ANJT pun sudah mulai melakukan pembangunan pabrik pengolahan edamame beku berkepasitas 3 ton per jam. ANJT menginvestasikan US$ 6,5 juta untuk pabrik ini. Rencananya, pembangunan pabrik ini akan diselesaikan pada Juli 2018. ANJT juga bekerjasama dengan AJI HK Ltd (AJI), salah satu entitas anak Asia Foods Group untuk memasarkan produk edamame beku ANJT. Pasalnya, AJI sudah berpengalaman di bidang pengolahan dan penjualan edamame beku, dan sudah menguasai pasar ekspor edamame seperti Jepang, Amerika Serikat, Australia, dan sedang menjajaki pasar Eropa. "Mereka juga membantu supaya kami memperoleh sertifikat keamanan pangan dari asing, karena itu diperlukan untuk ekspor. AJI memberi masukan, kami juga akan menggandeng konsultan supaya saling bersinergi," ujar Lucas Kurniawan, Direktur Keuangan ANJT. Dia pun mengatakan, saat ANJT sudah memasuki pasar ekspor pada 2019 nanti, maka produksi edamame akan turut meningkat. Di 2019 produksi edamame ditargetkan sekitar 3.000 ton. "Produksi akan ditingkatkan. Kami menargetkan, 1.600 ton yang diekspor tersebut mewakili 50% produksi edamame GMIT," terangnya. Lucas mengatakan, edamame yang diekspor pun harus memiliki kualitas yang baik. Menurutnya, terdapat berbagai tingkatan kualitas edamame. Nantinya, edamame yang tidak memenuhi kualitas ekspor akan diolah menjadi produk olahan edamame. Bila ekspor edamame ini berjalan dengan baik, maka pada 2022 ANJT menargetkan akan mampu mengekspor 6.000 ton edamame beku. Karena itu ANJT berupaya untuk menghasilkan benih yang baik serta mengajak lebih banyak petani untuk bermitra dengan GMIT. Hingga Juni 2017, sudah terdapat 108 hektare lahan milik petani yang terdaftar sebagai mitra GMIT. Tahun ini GMIT menargetkan akan ada 212 hektare lahan milik petani yang bergabung dengan GMIT dan akan ditanami edamame. Untuk mencapai ekspor edamame sebanyak 6.000 ton, maka harus terdapat 1.600 ha lahan yang harus ditanami edamame. Lucas Kurniawan mengatakan, saat diekspor, harga edamame dapat meningkat dua kali lipat lebih tinggi. Sementara, saat ini yang saat ini hanya melayani pasar domestik menyumbang pendapatan US$ 1 juta. Sementara, bila ekspor edamame dilakukan pada 2019, maka akan menyumbang pendapatan sebesar US$ 4 juta, dan pada 2022 pendapatan dari edamame beku ini akan mencapai US$ 14 juta. "Pendapatan ini akan memberikan sumbangan kepada negara juga. Secara komersial kami akan lebih cenderung kembangkan ekspor, tetapi domestik harus tetap dikembangkan karena secara populasi itu besar," ujar Lucas. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
2019, Austindo ekspor edamame beku 1.600 ton
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) berencana akan mulai mengekspor edamame beku di awal 2019. Austindo Nusantara menargetkan akan mengekspor edamame beku sebanyak 1.600 ton. Pasar ekspor yang ditarget adalah Jepang, Amerika Serikat, dan Australia. Selama ini anak usaha ANJT, PT Gading Mas Indonesia Teguh (GMIT) yang memproduksi edamame baru memproduksi edamame sebanyak 1.600 ton. Edamame ini pun hanya dipasarkan di dalam negeri, seperti di Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Jawa Tengah. Menurut Direktur Utama GMIT, Jahya Lukas, edamame tidak bisa diproduksi dalam jumlah yang banyak karena edamame merupakan produk segar. "Produksi kita belum bisa besar karena kita belum memiliki pabrik pengolahan edamame beku," jelas Jahya. Karena itulah, dalam memasuki pasar ekspor edamame beku ini, ANJT pun sudah mulai melakukan pembangunan pabrik pengolahan edamame beku berkepasitas 3 ton per jam. ANJT menginvestasikan US$ 6,5 juta untuk pabrik ini. Rencananya, pembangunan pabrik ini akan diselesaikan pada Juli 2018. ANJT juga bekerjasama dengan AJI HK Ltd (AJI), salah satu entitas anak Asia Foods Group untuk memasarkan produk edamame beku ANJT. Pasalnya, AJI sudah berpengalaman di bidang pengolahan dan penjualan edamame beku, dan sudah menguasai pasar ekspor edamame seperti Jepang, Amerika Serikat, Australia, dan sedang menjajaki pasar Eropa. "Mereka juga membantu supaya kami memperoleh sertifikat keamanan pangan dari asing, karena itu diperlukan untuk ekspor. AJI memberi masukan, kami juga akan menggandeng konsultan supaya saling bersinergi," ujar Lucas Kurniawan, Direktur Keuangan ANJT. Dia pun mengatakan, saat ANJT sudah memasuki pasar ekspor pada 2019 nanti, maka produksi edamame akan turut meningkat. Di 2019 produksi edamame ditargetkan sekitar 3.000 ton. "Produksi akan ditingkatkan. Kami menargetkan, 1.600 ton yang diekspor tersebut mewakili 50% produksi edamame GMIT," terangnya. Lucas mengatakan, edamame yang diekspor pun harus memiliki kualitas yang baik. Menurutnya, terdapat berbagai tingkatan kualitas edamame. Nantinya, edamame yang tidak memenuhi kualitas ekspor akan diolah menjadi produk olahan edamame. Bila ekspor edamame ini berjalan dengan baik, maka pada 2022 ANJT menargetkan akan mampu mengekspor 6.000 ton edamame beku. Karena itu ANJT berupaya untuk menghasilkan benih yang baik serta mengajak lebih banyak petani untuk bermitra dengan GMIT. Hingga Juni 2017, sudah terdapat 108 hektare lahan milik petani yang terdaftar sebagai mitra GMIT. Tahun ini GMIT menargetkan akan ada 212 hektare lahan milik petani yang bergabung dengan GMIT dan akan ditanami edamame. Untuk mencapai ekspor edamame sebanyak 6.000 ton, maka harus terdapat 1.600 ha lahan yang harus ditanami edamame. Lucas Kurniawan mengatakan, saat diekspor, harga edamame dapat meningkat dua kali lipat lebih tinggi. Sementara, saat ini yang saat ini hanya melayani pasar domestik menyumbang pendapatan US$ 1 juta. Sementara, bila ekspor edamame dilakukan pada 2019, maka akan menyumbang pendapatan sebesar US$ 4 juta, dan pada 2022 pendapatan dari edamame beku ini akan mencapai US$ 14 juta. "Pendapatan ini akan memberikan sumbangan kepada negara juga. Secara komersial kami akan lebih cenderung kembangkan ekspor, tetapi domestik harus tetap dikembangkan karena secara populasi itu besar," ujar Lucas. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News