KONTAN.CO.ID - Pemerintah tengah menyiapkan pembaruan sistem proses bisnis utama perpajakan yang akan diadopsi dalam pengembangan
core tax system yang baru. Hal ini merupakan salah satu target dari tim reformasi perpajakan.
Core tax administration system adalah sistem teknologi informasi yang menyediakan dukungan terpadu bagi pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Pajak termasuk otomasi proses bisnis mulai dari proses pendaftaran wajib pajak, pemrosesan surat pemberitahuan dan dokumen perpajakan lainnya, pemrosesan pembayaran pajak, dukungan pemeriksaan dan penagihan, hingga fungsi
taxpayer accounting. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pembaruan ini diperlukan karena telah terjadi peningkatan jumlah Wajib Pajak yang signifikan. Jumlah kantor pelayanan pajak di berbagai daerah di Indonesia pun terus bertambah.
Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi Ditjen Pajak Iwan Djuniardi mengatakan, rencananya proyek ini akan mulai proses lelang pada awal tahun depan. Sementara dokumen-dokumen terkait persiapannya akan dirampungkan pada Oktober ini, seperti
Term of Reference (TOR), analysis document, dan aturan-aturan yang terkait. “Rencananya kami akan mulai proses lelang di awal tahun 2018 dan diharapkan pertengahan 2018, proyek akan dimulai dan diperkirakan akan deploy di tahun 2020,” kata Iwan kepada KONTAN, Senin (18/9). Menurut Iwan, nantinya sistem yang baru tersebut bisa dengan cepat mendeteksi ketidakpatuhan dengan integritas data yang tinggi. Hal ini dimungkinkan karena di core tax akan dilengkapi dengan sistem compliance risk management (CRM) yang bisa mendeteksi profil risiko masing-masing wajib pajak sesuai dengan data yang ada di DJP, sehingga lebih mudah untuk dilakukan enforcement kepada wajib pajak sesuai ketentuan yang berlaku “Sistem baru tersebut bisa dengan mudah untuk di-scale up atau di-scale out, sehingga kapasitasnya dapat menyesuaikan dengan jumlah wajib pajak atau kebutuhan wajib pajak,” katanya. Adapun menurutnya, teknologi
core tax yang saat ini sendiri sudah terlalu lawas. Sebelumnya, teknologi itu dikembangkan tahun 2000 sehingga sekarang usianya sudah 17 tahun dan sudah tidak kompatibel dengan perkembangan teknologi informasi saat ini, sehingga sudah tidak dapat dikembangkan lebih lanjut lagi. Selain itu, DJP sendiri saat ini memiliki 63 jenis data, tetapi yang matching dengan NPWP baru 24 juta data. Menurut Iwan, ada atau tidak ada proyek
core tax, matching data tetap dilakukan namun nanti dengan sistem
core tax yang baru itu, data tersebut akan lebih mudah diintegrasikan dengan data internal DJP dalam rangka melakukan profiling kepatuhan. Pengamat Pajak dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako mengatakan, dalam agenda reformasi perpajakan, kemampuan DJP mengolah data merupakan hal yang penting. Oleh karena itu, pengembangan IT di DJP perlu mendapatkan perhatian dan dukungan yang lebih.
“Persoalannya, pengadaan barang di DJP cukup sulit, ini harus dibuat mudah apabila reformasi perpajakan ingin optimal. Pengelolaan data ini penting,” katanya. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, dengan profiling wajib pajak yang baik, maka akan ada klasifikasi yang lebih mendekati objektif. WP yang relatif patuh tidak akan jadi sasaran pemeriksaan, sebaliknya sasaran ke WP tidak patuh. “Dan ini akan menciptakan efisiensi dan efektivitas di kedua belah pihak. Ini secara alamiah akan mendorong ke kepatuhan secara alamiah/sukarela,” ujar dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto