2024 Berpeluang Jadi Tahun Terpanas Sejak Abad ke-19



KONTAN.CO.ID - Layanan Perubahan Iklim Copernicus (C3S) milik Uni Eropa baru-baru ini merilis data perubahan iklim untuk tahun 2024. Hasilnya, tahun ini berpeluang jadi tahun terpanas yang pernah tercatat sejak abad ke-19.

C3S melaporkan, bulan Juni lalu adalah bulan Juni paling panas yang pernah tercatat.

Mengutip Reuters, laporan C3S menunjukkan bahwa setiap bulan sejak Juni 2023 menduduki peringkat terpanas di Bumi sejak pencatatan dimulai tahun 1800-an.


Data terbaru menunjukkan, tahun 2024 dapat mengungguli tahun 2023 sebagai tahun terpanas sejak pencatatan dimulai.

Baca Juga: Israel Berencana Caplok 12,7 Km Persegi Lahan di Lembah Yordan

"Dalam 12 bulan yang berakhir pada bulan Juni, suhu rata-rata dunia merupakan rekor tertinggi pada periode tersebut, yaitu 1,64 derajat Celcius di atas rata-rata pada periode pra-industri tahun 1850-1900," ungkap C3S.

Sejalan dengan itu, sejumlah peneliti menduga perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia dan fenomena cuaca alami El Nino mendorong suhu mencapai rekor tertinggi pada tahun ini.

"Saya sekarang memperkirakan bahwa terdapat sekitar 95% kemungkinan bahwa tahun 2024 mengalahkan tahun 2023 sebagai tahun terpanas sejak pencatatan suhu permukaan global dimulai pada pertengahan tahun 1800-an," kata Zeke Hausfather, seorang ilmuwan peneliti di Berkeley Earth.

Dampak perubahan iklim yang sukses melahirkan gelombang panas terasa di seluruh penjuru dunia dan telah menimbulkan konsekuensi bencana.

Di Arab Saudi, lebih dari 1.000 orang meninggal dunia karena serangan panas ekstrem selama menjalankan ibadah Haji bulan lalu.

Baca Juga: Pelabuhan Terbesar di Texas Tutup saat Badai Tropis Beryl Mendekat

Kematian akibat cuaca panas juga tercatat di New Dehli, yang tahun ini mengalami gelombang panas yang sangat panjang.

"El Nino merupakan fenomena alam yang selalu datang dan pergi. Kita tidak bisa menghentikan El Nino, tapi kita bisa menghentikan pembakaran minyak, gas, dan batu bara," kata Friederike Otto, ilmuwan iklim di Institut Grantham Imperial College London.

El Nino yang menghangatkan permukaan perairan di bagian timur Samudera Pasifik cenderung meningkatkan suhu rata-rata global.

Meskipun ada janji untuk mengekang pemanasan global, banyak negara sejauh ini gagal mengurangi emisi tersebut, sehingga suhu terus meningkat selama beberapa dekade.