KONTAN.CO.ID - Jakarta. Amoeba pemakan otak meresahkan masyarakat. Amoeba pemakan otak telah menimbulkan kasus kematian di tiga negara. Apa itu amoeba pemakan otak? Bagaimana kasus amoeba pemakan otak di Indonesia? Amoeba pemakan otak adalah Infeksi Naegleria fowleri. Kasus amoeba pemakan otak menarik perhatian usai Korea Selatan melaporkan kematian pertama pada Senin (26/12/2022). Diberitakan The Korea Herald, Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KDCA) mengonfirmasi, korban kasus amoeba pemakan otak adalah pria berusia sekitar 50 tahun yang baru kembali dari Thailand. Pria itu kembali ke Korea pada 10 Desember 2022 setelah empat bulan bertugas di sana.
Dikutip dari laman Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Naegleria fowleri adalah amoeba atau organisme hidup bersel tunggal yang hidup di air tawar hangat. Mereka hidup di sumber mata air tawar panas, seperti danau dan sungai di seluruh dunia. Meski jarang muncul, infeksi amoeba pemakan otak dapat menyerang sistem saraf manusia dan hampir selalu menyebabkan kematian pada korban.
Baca Juga: Mengenal amoeba pemakan otak Naegleria Fowleri dan penyakit yang disebabkannya Berikut tiga negara yang pernah melaporkan kematian akibat infeksi amoeba pemakan otak: 1. Kasus amoeba pemakan otak di Korea Selatan Setelah kematian korban, KDCA melakukan tes genetik pada tiga jenis patogen Naegleria fowleri untuk memastikan penyebab kematian. Pengujian mengonfirmasi, gen dalam tubuh korban 99,6 persen mirip dengan penemuan pada pasien meningoensefalitis amoeba primer di luar negeri yang disebabkan Naegleria fowleri. KDCA menjelaskan, amoeba menginfeksi seseorang melalui hidung dan masuk ke otak. Saat amoeba berhasil terhirup dan mendiami otak, korban mungkin akan mengalami gejala awal seperti sakit kepala, demam, mual, atau muntah. Selanjutnya, beberapa gejala lain infeksi amoeba pemakan otak termasuk sakit kepala parah, demam, muntah, dan leher kaku. Meski penularan amoeba pemakan otak dari manusia ke manusia tidak mungkin terjadi, KDCA meminta warga untuk tidak berenang di daerah dan lingkungan penyebarannya. Pasalnya, sebagian besar kasus dimulai saat korban berenang di tempat amoeba pemakan otak bersemayam. 2. Kasus amoeba pemakan otak di Amerika Serikat Amerika Serikat (AS) telah melaporkan 154 infeksi amoeba pemakan otak selama kurun waktu 1962 hingga 2021. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), hanya empat orang yang selamat, dengan tingkat kematian lebih dari 97 persen. Pada tahun ini, seperti dilaporkan Insider (23/11/2022), setidaknya tiga orang meninggal akibat infeksi amoeba pemakan otak di negara ini. Tercatat, Naegleria fowleri ditemukan di danau dan sungai di Lowa, Nebraska, dan Arizona. Peningkatan kasus infeksi ini disebabkan suhu lingkungan yang cenderung lebih hangat daripada sebelumnya. 3. Kasus amoeba pemakan otak Pakistan Pakistan juga mengonfirmasi kematian akibat meningoensefalitis amoeba primer yang disebabkan oleh Naegleria fowleri, pada Mei 2022. Diberitakan Out Breaks Today (2/5/2022), kematian pertama di Provinsi Sindh pada tahun ini terjadi pada seorang pria berusia 59 tahun asal Kiamari. Adapun menurut otoritas kesehatan setempat, sekitar 90 orang telah meninggal akibat meningoensefalitis amoeba primer di Karachi, ibu kota Sindh. Bagaimana kasus amoeba pemakan otak di Indonesia? Sekretaris Direktorat Jenderal (Ditjen) Kesehatan Masyarakat Kemenkes Siti Nadia Tarmizi dalam konferensi pers update Health Working Group G20 Ketiga di Jakarta, Kamis (18/8/2022). Saat dikonfirmasi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menyampaikan bahwa belum ada temuan infeksi amoeba pemakan otak di Indonesia "Sampai saat ini belum ada laporan dari fasilitas kesehatan maupun organisasi profesi yang melaporkan adanya kasus ini," ujar Nadia kepada Kompas.com, Kamis (29/12/2022). Sementara itu, meningoensefalitis amoeba primer (PAM) atau infeksi Naegleria fowleri setidaknya memiliki gejala yang dirasakan mulai 1-14 hari setelah terinfeksi. Gejala termasuk kebingungan, kurang perhatian terhadap orang-orang dan sekitarnya, kehilangan keseimbangan, kejang, dan halusinasi. Setelah awal gejala, penyakit berkembang dengan cepat dan biasanya menyebabkan kematian dalam waktu 3 sampai 7 hari. Lantaran infeksi cenderung berkembang cepat, sebagian besar penderita sudah terlebih dahulu meninggal sebelum sempat diagnosis. Pencegahan kasus amoeba pemakan otak Mengutip website Kementerian Kesehatan (Kemenkesa) Naegleria ditemukan di banyak danau air tawar hangat dan sungai-sungai di Amerika Serikat, khususnya di selatan negara tier. Kemungkinan bahwa risiko rendah infeksi Naegleria akan selalu ada dengan penggunaan rekreasi air tawar hangat danau, sungai, dan sumber air panas. Jumlah yang rendah infeksi membuatnya sulit untuk mengetahui mengapa beberapa orang telah terinfeksi dibandingkan dengan jutaan orang lain menggunakan yang sama atau mirip perairan di seluruh AS yang dikenal-satunya cara untuk mencegah infeksi Naegleria adalah untuk menahan diri dari kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan air. Obat kasus amoeba pemakan otak Obat yang memberi harapan kasus amoeba pemakan otak adalah Amfoterisin B. Metronidazol, klorokuin, emetin dan berbagai antibiotika tidak efektif untuk pengobatan meningitis oleh karena Naegleria. Hanya ada 2 penderita yang pengobatannya berhasil, yaitu seorang dengan amfoterisin B 1 mg/kg berat badan/hari IV dan 0,1 sampai 1,0 mg intratekal 2 kali sehari; seorang lagi diberi amfoterisin B dengan dosis tinggi ditambah mikonazol dan rifampisin.
Prognosis Penderita primary amebic meningoencephalitis biasanya meninggal. Epidemiologi Karena ameba ini hidup di air tawar, tanah dan tinja, maka penyebaran mungkin di seluruh dunia. Dengan ditemukannya penderita di beberapa tempat pada musim panas, timbulnya penyakit mungkin berhubungan dengan musim, karena ameba ini bersifat termofilik. Itulah penjelasan tentang kasus amoeba pemakan otak serta ciri-ciri / gejala dan obat yang bisa digunakan. Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "
3 Negara Ini Catatkan Kematian akibat Amoeba Pemakan Otak, Bagaimana Indonesia?",
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Adi Wikanto