KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Indonesia telah terjebak dalam jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap (MIT) selama lebih dari tiga dekade. Sejak ditetapkan sebagai negara berpendapatan menengah pada 1992/1993, Indonesia hingga kini belum mampu naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi dan diperkirakan baru bisa keluar dari middle income trap pada rentang 2038–2045. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, untuk keluar dari middle income trap bukan perkara mudah. Secara historis, hanya sedikit negara yang berhasil melampaui jebakan ini.
Ia mencontohkan Jepang menjadi negara Asia pertama yang berhasil keluar dari middle income trap pada sekitar 1964. Disusul empat negara Asian Tigers yakni Singapura, Hong Kong, Taipei, dan Korea Selatan.
Baca Juga: Bertemu OECD Airlangga Bahas Proses Aksesi, Bahas Lingkungan Hingga Ekonomi Digital Di kawasan ASEAN, Malaysia dengan gross national income (GNI) per kapita US$ 11.670 pada 2024 diperkirakan keluar dari middle income trap pada 2028. Thailand, dengan pendapatan US$ 7.120, diprediksi baru keluar pada 2037. Sementara Indonesia, dengan GNI per kapita sekitar US$ 4.910, diperkirakan baru mampu keluar dari middle income trap pada 2038 hingga 2045, tergantung pada laju pertumbuhan ekonomi ke depan. “Secara historis, tantangan utama negara yang terjebak middle income trap adalah pertumbuhan ekonomi yang melambat dan daya saing yang lemah,” ujar Susiwijono, Kamis (18/12/2025). Susiwijono menjelaskan, middle income trap umumnya terjadi akibat produktivitas yang stagnan, rendahnya inovasi, lemahnya daya saing industri, kelembagaan yang belum kuat, serta berbagai persoalan struktural lainnya. Karena itu, dibutuhkan reformasi struktural yang mendasar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Di sisi lain, ia menilai, secara makro fundamental ekonomi Indonesia tergolong solid. Realisasi investasi pada kuartal I–III 2025 mencapai Rp 1.434,3 triliun atau tumbuh 13,7% yoy. “Capaian investasi sangat baik. Sejak kuartal IV 2024, realisasi investasi sudah konsisten di atas Rp 450 triliun per kuartal dengan pertumbuhan dua digit,” kata Susiwijono. Menurutnya, peningkatan investasi mencerminkan naiknya kepercayaan investor, stabilitas ekonomi dan politik, serta efektivitas kebijakan pemerintah. Dampaknya diharapkan mampu mendorong penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
Baca Juga: OECD: Ekonomi RI dan Asia Tenggara Melampaui Proyeksi Meski Tekanan Global Tinggi Sebagai bagian dari upaya reformasi tersebut, pemerintah memutuskan untuk bergabung dengan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Keanggotaan OECD diharapkan mendorong penerapan standar tata kelola yang lebih baik, peningkatan investasi asing, keterbukaan perdagangan, serta penguatan kelembagaan. “Melalui aksesi OECD, diharapkan ada dampak langsung terhadap investasi, akses pasar global, dan kualitas institusi, sehingga dapat mempercepat Indonesia keluar dari Middle Income Trap,” imbuh Susiwijono.
Saat ini, proses aksesi OECD telah memasuki tahap tinjauan teknis. Indonesia telah menyerahkan dokumen Initial Memorandum pada pertemuan tingkat menteri OECD di Paris, 3 Juni 2025. Pada 11–12 Desember 2025, tim Sekretariat OECD juga berkunjung ke Indonesia untuk memberikan dukungan percepatan aksesi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News