JAKARTA. Kementerian Perindustrian mengusulkan empat industri baru yang menerima insentif penurunan harga gas bumi. Empat industri baru yang diusulkan ialah industri pulp dan kertas, makanan dan minuman, tekstil dan alas kaki serta industri ban. Adapun industri ban masuk ke dalam sektor industri sarung tangan karet yang sebelumnya sudah diusulkan. Sehingga, total ada sepuluh sektor yang diusulkan menerima penurunan harga gas. Kebutuhan sepuluh sektor itu mencapai 2.230 MMSCFD per tahun.
Sebelumnya, dalam Peraturan Menteri ESDM No 16/2016 disebutkan tujuh sektor industri yang menerima penurunan harga ialah industri pupuk, industri petrokimia, industri oleokimia, industri baja, industri keramik, industri kaca, dan industri sarung tangan karet. Kementerian mengusulkan perubahan sektor tersebut dengan dua pertimbangan. Pertama, demi meningkatkan daya saing industri dalam negeri dan produk ekspor yang merupakan sumber devisa negara. "Kita jual gas jangan mahal-mahal karena kalau mahal pasarnya tidak berkembang. Tapi kalau harganya kompetitif, industri berkembang dan bisa jualan banyak," jelas Direktur Jenderal Industri Agro Kemperin Panggah Susanto usai Rapat Koordinasi Tingkat Menteri Pembahasan tentang Harga Gas untuk Industri di Gedung Kementerian Koordinator Perekonomian, Senin (15/8). Kedua, menjaga iklim usaha yang seimbang dengan kompetitor dari negara pesaing. Terutama dalam hal harga gas sebagai komponen yang besar dalam struktur biaya produksi. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto memperkirakan,
multiplier effect dari penurunan harga gas akan lebih tinggi daripada berkurangnya penerimaan dari penjualan gas. Sehingga dampaknya justru positif. "Kami kan bicara tentang
multiplier effect penurunan harga gas. Soal tenaga kerja, kemudian pertumbuhan indusri, dan penghematan devisa," kata Airlangga. Panggah menambahkan, penurunan harga gas diperkirakan bisa menumbuhkan industri. “Bisa tumbuh 7%-8%,” ujar Panggah. Kondisi saat ini, rata-rata harga gas untuk sektor industri terbilang tinggi yaitu US$ 9,5 per MMBTU. Kementerian Perindustrian lantas mengusulkan penurunan harga gas yang lebih rendah dibanding yang ditetapkan Kementerian ESDM sebelumnya US$ 6 per MMBTU. “Kami menggunakan
benchmark harga internasional. Ya range US$ 4 per MMBTU," kata Airlangga.
Panggah membandingkan dengan harga gas di Jepang dan Korea yang mencapai US$ 4 di pintu pabrik. “LNG mereka saja dari kita. Kok dia bisa jual di harga US$ 4 per MMBTU,” ujar Pangah. Harga gas yang tinggi menyebabkan turunnya pertumbuhan industri yang menjadikan gas sebagai bahan baku karena gas merupakan komponen utama dalam struktur biaya produk. Seperti industri pupuk dan petrokimia yang menerima harga gas US$ 6,28-US$ 16,7 per MMBTU. Gas mencapai 70% dari biaya produksi. Demikian pula, harga yang tinggi di industri yang menjadikan gas sebagai bahan bakar menjadi salah satu penyebab pertumbuhan negatif. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie