JAKARTA. Sekitar 40 produk perbankan syariah yang diadopsi dari luar negeri sedang dimintakan fatwanya ke Dewan Syariah Nasional (DSN) agar bisa diterapkan di Indonesia. Hal tersebut guna mengatasi lemahnya inovasi produk yang berimbas kepada lambatnya pengembangan pasar (market expansion). Demikian diungkapkan oleh Kepala Biro Penelitian dan pengembangan Perbankan Syariah Bank Indonesia (BI), Mulya E. Siregar, di sela-sela acara Festival Ekonomi Syariah, kemarin. “Ada keterkaitan erat antara inovasi produk dengan pengembangan pasar, semakin inovatif, semakin cepat pula pasar berkembang. Dan Indonesia masih lemah dalam berinovasi, padahal semua perangkat hukumnya sudah lengkap,” ujarnya. Berdasarkan kajian dari praktisi perbankan syariah dari Kuwaity Investment Company., Baljeet kaur Grewal, Indonesia menduduki kluster ketiga dari empat kluster negara-negara yang sudah memiliki perbankan syariah yang baik berdasarkan kepada pada inovasi produk dan pengembangan pasar. Dalam kluster itu, Indonesia berdampingan dengan Brunei Darussalam dan Arab Saudi. Ketiga negara ini, masih kalah jika dibandingkan dengan Malaysia, Uni Emirat Arab dan Bahrain, yang berdasarkan kajian Baljeet berada pada kluster pertama. Adapun dua kluster terbawah ditempati oleh negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat Maka itu, untuk mendorong perbankan syariah untuk lebih berani mengembangkan pasar, saat ini, BI sudah membuat dua kodifikasi produk-produk keuangan syariah. Kodifikasi pertama berisi tentang produk-produk syariah yang notabene sudah bisa diterapkan oleh perbankan syariah di Indonesia. “Jumlah produknya banyak sekali, sehingga nantinya bank syariah yang belum menerapkan dan ingin menerapkan tidak perlu lagi minta izin kepada BI,” Ujar Mulya. Adapun kodifikasi yang kedua berisi tentang produk-produk keuangan syariah yang sudah diterapkan di luar negeri. Untuk yang satu ini, sedang dalam proses permohonan fatwa dari DSN agar bisa diterapkan di Indonesia. Menurut Mulya, kodifikasi produk keuangan syariah tersebut sudah disampaikan pihaknya kepada DSN pada akhir tahun lalu. Adapun jumlahnya mencapai 40 produk syariah. “Jadi kita minta tolong kepada DSN, produk-produk syariah mana saja yang bisa dikeluarkan fatwanya. Dan kalau sudah keluar fatwanya, otomatis produk tersebut bisa dipindahkan ke buku kodifikasi pertama,” ujarnya. Aset perbankan syariah bisa Rp 70 triliun Mulya memperkirakan aset perbankan syariah masih bisa tumbuh sekitar Rp 25 triliun dari sebelumnya Rp 50 triliun pada 2008 menjadi Rp 75 triliun.. “Itu adalah pertimbangan moderat ,” ujarnya. Jika itu bisa terwujud, maka perbankan syariah kembali mendulang kesuksesan yang dialaminya dalam beberapa tahun belakangan ini. Sebagai gambaran saja, pada tahun 2008, total aset yang dikelola perbankan syariah mencapai Rp 50 triliun atau 2,1 persen dari total aset perbankan nasional. Itu mengalami kenaikan dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu dari sekitar 1, 4 persen pada 2005, 1,6 persen (2006), dan 1, 8 persen (2007). Kendati demikian, Mulya mengakui keadaan perekonomian global dan nasional yang masih memburuk akibat krisis, kemungkinan akan menghambat gerak laju pembiayaan perbankan syariah. Ia memperkirakan financing to deposit ratio (FDR), pada tahun ini masih di atas 100 persen. “Kalau baiknya sih FDR itu antara 80-100 persen. Its still ok,” pungkasnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
40 Produk Perbankan Syariah Menunggu Fatwa DSN
JAKARTA. Sekitar 40 produk perbankan syariah yang diadopsi dari luar negeri sedang dimintakan fatwanya ke Dewan Syariah Nasional (DSN) agar bisa diterapkan di Indonesia. Hal tersebut guna mengatasi lemahnya inovasi produk yang berimbas kepada lambatnya pengembangan pasar (market expansion). Demikian diungkapkan oleh Kepala Biro Penelitian dan pengembangan Perbankan Syariah Bank Indonesia (BI), Mulya E. Siregar, di sela-sela acara Festival Ekonomi Syariah, kemarin. “Ada keterkaitan erat antara inovasi produk dengan pengembangan pasar, semakin inovatif, semakin cepat pula pasar berkembang. Dan Indonesia masih lemah dalam berinovasi, padahal semua perangkat hukumnya sudah lengkap,” ujarnya. Berdasarkan kajian dari praktisi perbankan syariah dari Kuwaity Investment Company., Baljeet kaur Grewal, Indonesia menduduki kluster ketiga dari empat kluster negara-negara yang sudah memiliki perbankan syariah yang baik berdasarkan kepada pada inovasi produk dan pengembangan pasar. Dalam kluster itu, Indonesia berdampingan dengan Brunei Darussalam dan Arab Saudi. Ketiga negara ini, masih kalah jika dibandingkan dengan Malaysia, Uni Emirat Arab dan Bahrain, yang berdasarkan kajian Baljeet berada pada kluster pertama. Adapun dua kluster terbawah ditempati oleh negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat Maka itu, untuk mendorong perbankan syariah untuk lebih berani mengembangkan pasar, saat ini, BI sudah membuat dua kodifikasi produk-produk keuangan syariah. Kodifikasi pertama berisi tentang produk-produk syariah yang notabene sudah bisa diterapkan oleh perbankan syariah di Indonesia. “Jumlah produknya banyak sekali, sehingga nantinya bank syariah yang belum menerapkan dan ingin menerapkan tidak perlu lagi minta izin kepada BI,” Ujar Mulya. Adapun kodifikasi yang kedua berisi tentang produk-produk keuangan syariah yang sudah diterapkan di luar negeri. Untuk yang satu ini, sedang dalam proses permohonan fatwa dari DSN agar bisa diterapkan di Indonesia. Menurut Mulya, kodifikasi produk keuangan syariah tersebut sudah disampaikan pihaknya kepada DSN pada akhir tahun lalu. Adapun jumlahnya mencapai 40 produk syariah. “Jadi kita minta tolong kepada DSN, produk-produk syariah mana saja yang bisa dikeluarkan fatwanya. Dan kalau sudah keluar fatwanya, otomatis produk tersebut bisa dipindahkan ke buku kodifikasi pertama,” ujarnya. Aset perbankan syariah bisa Rp 70 triliun Mulya memperkirakan aset perbankan syariah masih bisa tumbuh sekitar Rp 25 triliun dari sebelumnya Rp 50 triliun pada 2008 menjadi Rp 75 triliun.. “Itu adalah pertimbangan moderat ,” ujarnya. Jika itu bisa terwujud, maka perbankan syariah kembali mendulang kesuksesan yang dialaminya dalam beberapa tahun belakangan ini. Sebagai gambaran saja, pada tahun 2008, total aset yang dikelola perbankan syariah mencapai Rp 50 triliun atau 2,1 persen dari total aset perbankan nasional. Itu mengalami kenaikan dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu dari sekitar 1, 4 persen pada 2005, 1,6 persen (2006), dan 1, 8 persen (2007). Kendati demikian, Mulya mengakui keadaan perekonomian global dan nasional yang masih memburuk akibat krisis, kemungkinan akan menghambat gerak laju pembiayaan perbankan syariah. Ia memperkirakan financing to deposit ratio (FDR), pada tahun ini masih di atas 100 persen. “Kalau baiknya sih FDR itu antara 80-100 persen. Its still ok,” pungkasnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News