5G dan Kedaulatan Teknologi



KONTAN.CO.ID - Perkembangan teknologi komunikasi nirkabel generasi ke-5 (5G) menarik perhatian banyak pihak, apalagi di tengah riuh rendahnya perang dagang dan pandemi global virus korona baru. Hingga saat ini, Huawei adalah pemimpin di dunia 5G, dengan pangsa pasar lebih dari 30% di seantero dunia.

Sebagai sebuah perusahaan yang baru berdiri 1987 oleh mantan tentara Ren Zhengfei, Huawei tumbuh jadi perusahaan besar dengan pendapatan mencapai US$ 122 miliar di tahun buku 2019. Mereka kini punya lebih dari 190.000 karyawan di 170 negara dan menjadi pembuat chip 5G yang menantang pemain besar yang ada sebelumnya: Qualcomm. Produsen lain, seperti Ericsson (Swedia) dan Nokia (Finlandia), juga mengembangkan 5G mereka masing-masing, namun kecepatan dan penetrasinya masih jauh di bawah Huawei.

Lantas, apa sebetulnya permasalahannya? Sebagai sebuah negara yang terkoordinasi secara sentralistik, Tiongkok terkenal dengan rencana lima tahunannya yang saat ini mencapai rencana ketiga belas (2016-2020). Dalam periode ini, industri berat akan ditinggalkan dan beralih pada inovasi berbasis teknologi modern, yang menjadi salah satu kunci utama untuk membentuk masyarakat Tiongkok yang makmur. Mereka ingin mendapat kue lebih besar dalam produksi global sekaligus menghapus citra inferior yang selama ini melekat pada produk Made in China.


Tak heran, Pemerintah Tiongkok memberikan komitmen penuh dan berinvestasi jorjoran kepada Huawei sebagai flagship mereka di sektor telekomunikasi bersama Xiaomi. Sebagai contoh, mereka menikmati setidaknya US$ 75 miliar dalam bentuk keringanan pajak dan pembiayaan sumberdaya yang murah. Hal ini lumrah sebagai sebuah praktik bisnis yang bisa dijumpai di mana pun. Kompleksitas baru muncul ketika kita kaitkan praktik bisnis yang dilakukan Huawei dengan kebijakan pemerintahan sentralistik Tiongkok serta upaya intelijen yang mereka lakukan.

Mari kita lihat Undang-Undang (UU) Intelijen Nasional Republik Rakyat Tiongkok tahun 2017. Aturan ini berisi 6 bab dan 32 pasal. Pasal 7 secara khusus memberikan peluang bagi setiap warga dan entitas Tiongkok untuk menjadi bagian intelijen negara. Selain itu, ditegaskan kembali di Pasal 14 dan 16 bahwa pekerjaan intelijen negara mungkin memerlukan bantuan warga maupun entitas Tiongkok, dan memberikan akses bagi intelijen untuk memeriksa serta mengambil file, materi, dan bahan yang mereka perlukan.

Pasal tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa sekalipun Huawei (maupun perusahaan teknologi Tiongkok lainnya) membantah mereka melakukan kegiatan spionase, bila Pemerintah Tiongkok meminta data untuk keperluan intelijen, maka secara hukum Huawei harus memberikannya. Dan, melihat kecepatan dan kekuatan teknologi 5G, bahaya terbesar bukan hanya pada penyadapan informasi. Tetapi, lebih dari itu, intervensi dalam semua peranti yang dikendalikan melalui protokol 5G milik Huawei: internet, kendaraan, rumahsakit, hingga drone dan senjata militer yang bisa memicu perang.

Gegap gempita seputar 5G

Ketakutan semacam ini mungkin agak mengada-ada, tapi cukup memberikan alasan kuat bagi beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Jepang, untuk menolak kehadiran 5G yang dibawa Huawei. Sebaliknya, negara-negara Eropa nampaknya agak lebih terbuka terhadap Huawei. Sudah sekitar 20 tahun Huawei beroperasi di Benua Eropa. Banyak antena dan peranti mobile yang diproduksi oleh Huawei digunakan di sana. Sejauh ini, belum ada klaim bahwa Huawei melakukan aktivitas spionase di benua biru tersebut.

Gegap gempita seputar 5G ini menunjukkan, bahwa dominasi perusahaan teknologi besar dalam kehidupan kita sehari-hari adalah fakta yang tak terbantahkan. Program pengawasan (surveillance) yang digalakkan oleh negara besar di dunia, walau sulit untuk dibuktikan secara empiris, berpotensi besar untuk menyusup ke dalam kehidupan pribadi kita maupun dalam administrasi publik. Untuk itu, sangat penting bagi kita untuk mengembangkan kapasitas teknologi digital, agar kita jangan hanya menjadi meja prasmanan bagi negara-negara dan perusahaan-perusahaan teknologi besar dunia saja.

Fenomena ini juga menunjukkan, bahwa teknologi telah berlaku untuk segala bentuk aplikasi strategis. Sehingga, definisi industri strategis tak melulu harus berkaitan langsung dengan kedirgantaraan atau pertahanan semata. Tentu saja, kita harus mengamankan kemandirian teknologi sendiri agar kita masih punya harapan untuk menghadapi raksasa Internet dan telekomunikasi dunia. Memberi lisensi tak terbatas kepada Huawei (atau perusahaan teknologi asing lainnya) untuk mengembangkan dan mengimplementasikan jaringan 5G, pada akhirnya, akan melemahkan kemampuan kita sendiri dan menempatkan infrastruktur telekomunikasi kita pada posisi yang kurang menguntungkan.

Terhadap latar belakang perang dagang dan pandemi global yang terjadi saat ini, setidaknya terdapat dua pelajaran penting bagi penyusunan kebijakan teknologi di Indonesia. Pertama, di level bawah (grassroot), kolektivitas untuk mengatasi bencana, memenuhi kebutuhan bersama, dan saling tolong-menolong antarsesama menunjukkan ada keinginan kuat dari masyarakat untuk lebih berdaulat dalam mengontaminasi penyebaran virus.

Kedua, kemunculan sejumlah solusi-solusi lokal buatan sendiri di banyak wilayah menunjukkan, bahwa kemampuan solidaritas untuk memitigasi masalah di level bawah sebenarnya boleh dibilang cukup baik.

Untuk itu, krisis virus korona baru tak boleh menjadi pembenaran untuk lebih banyak campur tangan kekuatan besar asing dalam transformasi digital di Indonesia. Dalam masa prihatin seperti saat ini, pemerintah harus menginisiasi upaya untuk mereplikasi solusi teknologi kelas dunia yang ada dalam kemasan Made in Indonesia, dengan kualitas dan keandalan yang lebih baik.

Selain itu, karena berbagai tingkat perkembangan ekonomi, ketersediaan infrastruktur, dan perbedaan dalam budaya, kebijakan teknologi preskriptif yang seragam akan mengecualikan banyak wilayah dari pemanfaatan peluang yang ada dan baru yang muncul dari digitalisasi. Indonesia tidak dapat dianggap sebagai satu blok monolitik mengingat setiap wilayah memiliki faktor idiosinkratik masing-masing yang dapat memberi kontribusi bagi percepatan proses konvergensi dalam transformasi digital ini. Jangan sampai Indonesia hanya menjadi cyber-colony bagi negara dan perusahaan teknologi besar saja.

Penulis : Nofie Imam

Pengajar Departemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti