75% Kendaraan Listrik Indonesia Pakai Baterai Non-Nikel, Bagaimana Nasib Hilirisasi?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia tengah menggulirkan program insentif kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (EV) untuk 250.000 kendaraan roda dua dan 35.900 kendaraan roda empat untuk 2023. Alasannya beragam, mulai dari penurunan konsumsi bahan bakar minyak (BBM), penurunan emisi, dan tidak kalah penting adalah sebagai usaha mendongkrak industri berbasis nikel.

Analis Energi  Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna menjelaskan, sejauh ini Indonesia telah berhasil menarik dua produsen mobil kendaraan listrik yakni Hyundai dan Wuling. 

Menarik untuk dicatat bahwa Wuling Air EV, yang merepresentasikan 75% dari penjualan mobil listrik di Indonesia tahun lalu, menggunakan baterai berbasis besi yang dikenal sebagai lithium iron phospate (LFP) yang harganya lebih terjangkau dan tidak mengandung nikel. 


Bahkan di kuartal pertama 2022, hampir separuh mobil baru yang diproduksi Tesla menggunakan baterai LFP, terutama yang dijual di China.  

Baca Juga: Insentif Kendaraan Listrik Untuk Menarik BYD Auto dan Tesla ke Indonesia

“Artinya, 75% dari mobil listrik yang terjual di Indonesia tahun lalu tidaklah menggunakan baterai nikel, namun menggunakan baterai berbasis besi dengan harga lebih terjangkau. Tren yang sama mungkin akan berkembang di segmen roda dua. Apakah kendaraan listrik Indonesia akan menggunakan nikelnya, ini yang masih menjadi pertanyaan,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (4/4). 

Lantas melihat fenomena tersebut, seperti apa imbasnya bagi hilirisasi nikel di dalam negeri? Putra melihat, sejatinya penggunaan baterai berbasis nikel akan terus tumbuh di dunia, kemungkinan lebih banyak untuk pemakaian yang membutuhkan performa tinggi seperti kendaraan dengan jarak tempuh yang jauh. 

Namun, sampai saat ini pun belum jelas apakah kekayaan nikel Indonesia akan mendominasi perkembangan kendaraan listrik di pasar domestik. Mengingat sebagian besar masyarakat di Indonesia memiliki kendaraan roda dua dan mobil pada segmen bawah sampai menengah. Bercermin dari hal tersebut, pembelian kendaraan listrik tentu akan banyak mempertimbangkan harga kendaraannya sehingga diproyeksikan pasar EV di Indonesia akan lebih condong ke arah baterai LFP yang lebih terjangkau.

Putra menilai, inisiatif yang ada saat ini tampak lebih terfokus pada pembangunan industri yang terkait penambangan nikel dan peningkatan industri baterai. Dengan bertumpu kepada dua inisiatif tersebutlah tampak usaha untuk bisa memproduksi EV berharga terjangkau, baik dengan nikel maupun baterai tanpa berbasis nikel. Pasalnya saat ini ada juga rencana untuk membangun pabrik baterai LFP di Indonesia. 

Baca Juga: Permintaan Mobil Listrik Berpotensi Melonjak Berkat Adanya Insentif

“Pada akhirnya, apakah nikel Indonesia akan cukup kompetitif untuk mendorong tumbuhnya pasar EV domestik dengan baterai berbasis nikel masih menjadi pertanyaan,” ujar dia. 

Putra mengatakan, program insentif pemerintah untuk mendorong penggunaan EV patut diapresiasi, namun adopsi EV pada skala besar tetap memerlukan penguatan kebijakan lain termasuk untuk infrastruktur charging dan pembatasan kendaraan konvensional. Adapun komitmen multi-year dibutuhkan untuk mendukung ekspansi pasar EV yang berkelanjutan. 

Program subsidi EV di India didesain sebagai program tiga-tahunan. Perlu diakui bahwa penyusunan kebijakan tersebut tidak mudah mengingat sudah dekatnya tahun pemilu. Namun hal ini semakin menekankan pentingnya pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk mengawasi efektivitas berjalannya insentif tersebut. 

Dalam hal mendorong penggunaan EV, Indonesia sebenarnya sudah berada di arah yang tepat mengingat alternatif lainnya adalah terus menambah impor dan subsidi BBM. Namun tetap dibutuhkan sebuah komitmen regulasi yang optimal untuk membentuk pasar EV domestik yang signifikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati