“Informasi yang dipersepsikan sebagai sumber pengetahuan mulai dikhawatirkan sebagai sumber kecemasan. Lubernya informasi tidak lain berarti bahwa ada jenis informasi yang bukan saja tidak sempat diolah akan tetapi juga sama sekali tidak mungkin dipakai.” — Jakob Oetama KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahukah Anda, berapa berita yang diunggah media online dalam satu hari? Satu media online arus utama di Indonesia setidaknya mengunggah 400 hingga 2.500 berita per hari. Itu baru satu media online. Berapa media online yang kerap Anda sambangi dalam satu hari? Lantas, berapa berita yang Anda baca dalam satu hari? Mungkin tak sampai 10 berita. Meski jumlah berita dalam satu hari mengalir deras, namun media tak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi bagi masyarakat.
Ada media sosial yang acapkali malah lebih cepat memberikan informasi atas sebuah peristiwa. Konon, ada 6.000 twit di Twitter setiap detiknya. Sementara di Facebook, media sosial paling populer di Indonesia, memproduksi 293.000 status setiap 60 detik. Ada 2,2 miliar orang di seluruh dunia aktif setiap hari di media sosial buatan Mark Zuckerberg itu. Jangan lupakan video. Setiap menit, 300 jam video diunggah ke Youtube.
Absolutely, informasi kini mengalir bak air bah. Banjir. Luber, melebihi kemampuan kita untuk menyerapnya. Segala informasi itu bahkan kini datang mengunjungi ruang-ruang personal kita di layar ponsel dan laptop, menyusup dalam pesan broadcast di Whatsapp atau Line. Cilakanya, kita seringkali tidak tahu apakah informasi yang datang benar atau salah. Era banjir informasi sekaligus juga merupakan era ketidakpastian informasi. Ironis, di era digital, ketika informasi melimpah banyak, kebenaran justru menjadi sesuatu semakin tidak pasti, kata Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, kritikus media dalam bukunya Blur. Alih-alih memberi kepastian, media tradisional, yang dulu menjadi
the guardian angle of information, tak sedikit yang terpeleset mengamplifikasi ketidakpastian semata-mata demi kepentingan komoditas informasi. Informasi malah menjadi sumber kecemasan baru. Jurnalisme Makna Bagaimana media seyogianya menempatkan diri di era banjir informasi? Pendiri harian Kompas Jakob Oetama jauh-jauh hari bicara soal jurnalisme makna. Ia menyampaikan gagasannya ini saat dikukuhkan sebagai doktor kehormatan Universitas Gadjah Mada pada 17 April 2003. “Informasi yang dipersepsikan sebagai sumber pengetahuan mulai dikhawatirkan sebagai sumber kecemasan. Lubernya informasi tidak lain berarti bahwa ada jenis informasi yang bukan saja tidak sempat diolah akan tetapi juga sama sekali tidak mungkin dipakai,” kata Jakob dalam pidatonya. Menurut dia, seorang wartawan seyogianya tidak hanya memberitakan sebuah peristiwa, tapi masuk lebih jauh menggali apa makna dari peristiwa itu. “Seorang wartawan harus mampu mengambil jarak atas peristiwa yang ditulisnya dan menarik sebuah refleksi atas peristiwa tersebut. Dengan begitu, pembaca mendapatkan
enlightment atau pencerahan,” tutur Jakob. Tugas media, ia menegaskan, adalah mencari dan menghadirkan makna dari peristiwa dan masalah, besar dan kecil. Pencarian makna itu berpedoman pada
politics of values, yaitu tentang apa yang baik dan tidak baik, penting dan tidak penting, bukan
politics of power, politik kekuasaan atas dasar kepentingan kelompok atau segelintir orang. Oleh karena itu, jurnalis dituntut untuk tidak sekadar membuat laporan, tapi laporan yang komprehensif yaitu laporan yang berusaha memaparkan seluruh persoalan berikut aneka macam latar belakang, interaksi serta prosesnya. “Reportase faktual yang memisahkan fakta dan opini berkembang sebagai reportase interpretasi, reportase yang mendalam, yang investigatif dan reportase yang komprehensif. Bukan sekadar fakta menurut uturan kejadiannya, bukan fakta secara linear, melainkan fakta yang mencakup. Dicari interaksi tali temalinya. Diberi interpretasi atas dasar interaksi dan latar belakangnya. Ditemukan variabel-variabelnya. Dengan cara itu berita bukan sekadar informasi tentang fakta. Berita sekaligus menyajikan interpretasi akan arti dan makna dari peristiwa,” terang Jakob. Gagasan Jurnalisme Makna yang disampaikan Jakob sangat relevan di era banjir informasi ini. Media seyogianya menjadi batu penjuru, tempat masyarakat mendapat kepastian. Media harus memberi jawab, mencerahkan, menjelaskan duduknya perkara. Legacy Itulah salah satu warisan Jakob Oetama yang hari ini berulangtahun ke-87. Ia lahir di Desa Jowahan, 500 meter sebelah timur Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, pada 27 September 1931. Jurnalisme makna hanya satu dari banyak gagasan lain tentang jurnalisme yang selama ini dipraktikkan di harian Kompas, Kompas.com, dan Kompas TV. Warisan nilai yang dihidupi Jakob tidak hanya menjadi tonggak bagi jurnalisme yang digeluti para wartawan Kompas dan grup Kompas Gramedia tetapi juga warisan yang mewarnai perjalanan jurnalisme Indonesia.
Jakob tidak meninggalkan sebuah warisan nilai dalam sebuah tuturan yang sistematis. Beragam pandangan dan gagasannya tentang jurnalisme dan menjadi wartawan disampaikannya secara lisan dalam sejumlah kesempatan saat berinteraksi dengan wartawan-wartawannya. Kumpulan catatan tentang warisan nilai itu bisa dilihat selengkapnya pada edisi Visual Interaktif Kompas (VIK)
The Legacy. Selamat ulang tahun Pak Jakob. (Heru Margianto) Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "
87 Tahun Jakob Oetama dan Era Banjir Informasi" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie