JAKARTA. Setiap kali ada bencana gunung meletus, pada hari-hari ini salah satu yang dapat dipastikan terdampak adalah layanan penerbangan. Pertanyaannya, penghentian penerbangan di area terdampak ini karena persoalan jarak pandang yang tertutup atau ada penyebab lain? Barangkali dua cerita berikut dapat menggambarkan "kekuatan" dari si kecil abu vulkanik dan dampaknya bagi penerbangan. Pada 24 Juni 1982, pesawat British Airways terbang melintas di dekat Jakarta. Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya pada 5 April 1982, Gunung Galunggung di Tasikmalaya, Jawa Barat, meletus, menyemburkan abu vulkanik yang menggelapkan Kota Tasikmalaya, Bandung, Bogor, hingga Jakarta. Malam itu, 24 Juni 1982, kabut tipis saja masih tertinggal di atas langit Jakarta saat pesawat British Airways tersebut melintas. Pesawat Boeing 747-236B ini dalam perjalanan dari London menuju Auckland, Selandia Baru, dengan beberapa lokasi transit ketika keempat mesinnya tiba-tiba mati. Pesawat dengan 225 penumpang ini mendarat darurat di Bandara Halim Perdana Kusuma, menginap dua hari, dengan semua kru dan penumpang selamat. Lalu, pada 15 Desember 1989, pesawat penumpang Boeing 747-400 dengan nomor penerbangan KLM 867 rute Amsterdam-Tokyo jatuh. Tragedi ini terjadi sehari setelah meletusnya Gunung Rodoubt di Alaska, dengan kabut debu vulkanik ada di udara kawasan tersebut. Penyelidikan insiden British Airways Dalam penyelidikan atas insiden pesawat British Airways di dekat Jakarta, terungkap adanya kilatan api di depan kaca kokpit. Fenomena itu disaksikan oleh Senior First Officer Roger Greaves dan Senior Engineer Officer Barry Townley-Freeman. Fenomena tersebut mulai terlihat ketika kapten pilot, Eric Moody, sedang ke toilet. Namun, bahkan saat Moody kembali ke kokpit, kilatan cahaya itu masih ada. Pada saat bersamaan, asap pekat berbau belerang pun sempat menyelimuti kabin dan kokpit, sempat dikira asap rokok salah satu penumpang. Insiden ini terjadi pada era belum berlakunya larangan merokok di dalam kabin pesawat. Adapun penumpang yang duduk di sisi jendela melaporkan penutup keempat mesin pesawat tiba-tiba bercahaya terang, dengan kilatan cahaya memancar dari putaran cepat bilah mesin jet pesawat itu. Reaksi cepat dari kapten pilot dan co-pilot adalah mengaktifkan sistem pemadam kebakaran, menghentikan aliran bahan bakar ke mesin. Akibatnya, mesin seolah mengeluarkan bunyi ledakan dan mendadak mati total. Pada ketinggian 37.000 kaki, setara 11.278 meter, di atas permukaan laut, pesawat melayang bebas tanpa daya dorong mesin. Setiap jarak 15 kilometer terlewati, ketinggian pesawat berkurang satu kilometer. Kapten pilot pun memutuskan mengaktifkan frekuensi radio darurat. Penerbangan 169 kilometer ditempuh dalam waktu 23 menit, dengan mesin dapat dinyalakan pada saat-saat terakhri. Pesawat selamat mendarat di Bandara Halim Perdana Kusuma. Dari penyelidikan insiden ini, radar penerbangan tak mampu melacak ada ancaman serius untuk penerbangan di jalur yang dilintasi pesawat itu. Hasil penyelidikan menyeluruh mendapatkan fakta, abu vulkanik yang bersifat kering tak terdeteksi radar yang dirancang membaca partikel basah dari awan dengan kandungan uap air. Pilot dan kru City of Edinburgh pun tak bisa membedakan asap yang muncul di kabinnya, karena bau belerang tak banyak beda dengan sisa pembakaran lain. Apalagi sesaat sebelum fenomena asap itu, terlihat kilatan api baik di depan kokpit maupun dari mesin. Penyelidikan insiden di Alaska Investigasi atas kecelakaan di Alaska antara lain menemukan rekaman percakapan antara menara kontrol Anchorage dan pilot pesawat. Percakapan terjadi ketika pesawat berada di ketinggian 25.000 kaki atau setara 7.620 meter di atas permukaan laut di atas Alaska. Pilot: "KLM 867 heavy is reaching level 250 heading 140" Anchorage Center: "Okay, Do you have good sight on the ash plume at this time?" Pilot: "Yea, it’s just cloudy it could be ashes. It’s just a little browner than the normal cloud." Pilot: "We have to go left now... it's smoky in the cockpit at the moment, sir." Anchorage Center: "KLM 867 heavy, roger, left at your discretion." Pilot: "Climbing to level 390, we’re in a black cloud, heading 130." Pilot: "KLM 867 we have flame out all engines and we are descending now!" Anchorage Center: "KLM 867 heavy, Anchorage?" Pilot: "KLM 867 heavy, we are descending now... we are in a fall!" Pilot: "KLM 867, we need all the assistance you have, sir. Give us radar vectors please!" Begitu percakapan antara kokpit dan menara kontrol itu rampung, empat mesin pesawat mati. Sistem kelistrikan pesawat gagal bekerja. Pesawat itu baru berumur enam bulan, saat melintasi kabut abu vulkanik. Hasil investigasi mendapatkan mesin pesawat telah terlapisi partikel debu yang sangat halus dari abu vulkanik. Lapisan abu yang sama telah mengacaukan sensor temperatur. Ini penyebab keempat mesin mengaktifkan mekanisme otomatis "mematikan diri". Prosedur keamanan sistem pesawat menyediakan mekanisme "standby" mesin ketika terjadi jeda saat mesin utama mati. Tak terkecuali di pesawat Boeing 747-400 tersebut. Sayangnya, dua kali upaya pilot menyalakan kembali mesin pesawat tak membuahkan hasil. Debu vulkanik, si kecil yang dapat mematikan mesin... Thomas J Casadevall dalam makalahnya, Volcanic Ash and Airports, menuliskan, abu vulkanik terdiri atas batuan halus, mineral, dan partikel padat berdiameter kurang dari 2 milimeter. Bahkan, diameter abu halus hanya 0,063 milimeter. Ukuran material itu mengecil saat semakin jauh jarak lontarannya dari gunung api. Abu vulkanik yang disemburkan gunung api juga dapat membawa aliran listrik statis. Di bandara, tebaran abu vulkanik menyebabkan jalan pesawat menyimpang dan mengganggu sistem kelistrikan pesawat. Ukuran partikel debu vulkanik sangat halus. Jauh lebih halus dibandingkan tepung terigu. Karenanya, abu vulkanik sangat ringan dan bisa melayang di udara dalam waktu lama. Penjelasan ini pun menerangkan bagaimana abu vulkanik dari letusan Gunung Krakatau pada 1883 bisa sampai ke Eropa meski sudah lewat berbulan-bulan. Bila dilihat menggunakan mikroskop, abu vulkanik berbahan dasar silika. Permukaannya memiliki sudut yang tajam, dengan tingkat ketajaman hanya sedikit di bawah intan. Dalam jumlah kecil, gesekan partikel debu ini dengan logam penyusun mesin akan bersifat abrasif, menggerus. Laporan penyelidikan atas insiden British Airways, abu vulkanik yang lolos melewati bilah mesin jet masuk lebih dalam ke ruang pembakaran yang mencampurkan oksigen dan bahan bakar, memunculkan semacam campuran leleh berkandungan abu vulkanik yang akan masuk semakin dalam ke sistem pembakaran dan pembangkitan tenaga pesawat. Jika ketinggian pesawat masih memadai, mematikan mesin masih akan punya cukup waktu sampai mesin kembali "dingin". Pada kondisi tersebut, uap dari yang terbentuk dari campuran abu vulkanik, oksigen, dan bahan bakar, bisa didorong keluar dari seluruh sistem mesin pesawat. Campuran leleh tersebut juga bisa menjadi lapisan keramik abrasif yang mengubah performa aerodinamika bilah-bilah mesin jet. Pada kondisi terburuk, merontokkan bilah itu akibat momentum gaya yang terjadi pada saat mesin berputar dengan kecepatan ekstra tinggi. Mesin bisa meledak di udara, bila gesekan berkecepatan tinggi itu terus berlanjut. Aturan keselamatan penerbangan Pada 1991, industri penerbangan dunia membentuk Pusat Saran Debu Vulkanis (VAAC), yang melibatkan ahli penerbangan, meteorologi, ahli vulkanologi, dan beberapa disiplin ilmu lain. Hingga 2010, pabrik mesin pesawat terbang belum menentukan batas tingkatan pasti kandungan partikel abu vulkanik yang bisa membahayakan mesin. Baru pada April 2010, badan regulasi penerbangan di Inggris menetapkan batas kandungan debu vulkanik yang masih aman untuk penerbangan pesawat bermesin jet dan propeler. Batas maksimal yang diizinkan adalah 2 miligram per meter kubik ruang udara. Angka ini kemudian dinaikkan menjadi 4 milimeter per kubik ruang udara pada Mei 2010. Apakah Indonesia menerapkan aturan ini? Yang jelas, setiap kali terjadi peristiwa gunung meletus, penerbangan di Indonesia menghentikan layanan. Tak terkecuali dalam letusan Gunung Kelud, Kamis (13/2/2014) menjelang tengah malam. Setidaknya tujuh bandara utama di Pulau Jawa menghentikan sementara operasional penerbangan, Jumat (14/2/2014), akibat letusan gunung yang berlokasi di perbatasan Kabupaten Kediri, Malang, dan Blitar itu. Tujuh bandara yang ditutup berlokasi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tujuh bandara itu adalah Bandara Abdulrahman Saleh di Malang, Bandara Juanda di Surabaya, Bandara Adi Soemarmo di Surakarta, Bandara Adisucipto di Yogyakarta, Bandara Ahmad Yani di Semarang, Bandara Sumberwulung di Cilacap, dan Bandara Husein Sastra Negara di Bandung. Penerbangan dari dan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur sama sekali berhenti. (Palupi Annisa Auliani)
Abu vulkanik mampu rontokkan pesawat
JAKARTA. Setiap kali ada bencana gunung meletus, pada hari-hari ini salah satu yang dapat dipastikan terdampak adalah layanan penerbangan. Pertanyaannya, penghentian penerbangan di area terdampak ini karena persoalan jarak pandang yang tertutup atau ada penyebab lain? Barangkali dua cerita berikut dapat menggambarkan "kekuatan" dari si kecil abu vulkanik dan dampaknya bagi penerbangan. Pada 24 Juni 1982, pesawat British Airways terbang melintas di dekat Jakarta. Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya pada 5 April 1982, Gunung Galunggung di Tasikmalaya, Jawa Barat, meletus, menyemburkan abu vulkanik yang menggelapkan Kota Tasikmalaya, Bandung, Bogor, hingga Jakarta. Malam itu, 24 Juni 1982, kabut tipis saja masih tertinggal di atas langit Jakarta saat pesawat British Airways tersebut melintas. Pesawat Boeing 747-236B ini dalam perjalanan dari London menuju Auckland, Selandia Baru, dengan beberapa lokasi transit ketika keempat mesinnya tiba-tiba mati. Pesawat dengan 225 penumpang ini mendarat darurat di Bandara Halim Perdana Kusuma, menginap dua hari, dengan semua kru dan penumpang selamat. Lalu, pada 15 Desember 1989, pesawat penumpang Boeing 747-400 dengan nomor penerbangan KLM 867 rute Amsterdam-Tokyo jatuh. Tragedi ini terjadi sehari setelah meletusnya Gunung Rodoubt di Alaska, dengan kabut debu vulkanik ada di udara kawasan tersebut. Penyelidikan insiden British Airways Dalam penyelidikan atas insiden pesawat British Airways di dekat Jakarta, terungkap adanya kilatan api di depan kaca kokpit. Fenomena itu disaksikan oleh Senior First Officer Roger Greaves dan Senior Engineer Officer Barry Townley-Freeman. Fenomena tersebut mulai terlihat ketika kapten pilot, Eric Moody, sedang ke toilet. Namun, bahkan saat Moody kembali ke kokpit, kilatan cahaya itu masih ada. Pada saat bersamaan, asap pekat berbau belerang pun sempat menyelimuti kabin dan kokpit, sempat dikira asap rokok salah satu penumpang. Insiden ini terjadi pada era belum berlakunya larangan merokok di dalam kabin pesawat. Adapun penumpang yang duduk di sisi jendela melaporkan penutup keempat mesin pesawat tiba-tiba bercahaya terang, dengan kilatan cahaya memancar dari putaran cepat bilah mesin jet pesawat itu. Reaksi cepat dari kapten pilot dan co-pilot adalah mengaktifkan sistem pemadam kebakaran, menghentikan aliran bahan bakar ke mesin. Akibatnya, mesin seolah mengeluarkan bunyi ledakan dan mendadak mati total. Pada ketinggian 37.000 kaki, setara 11.278 meter, di atas permukaan laut, pesawat melayang bebas tanpa daya dorong mesin. Setiap jarak 15 kilometer terlewati, ketinggian pesawat berkurang satu kilometer. Kapten pilot pun memutuskan mengaktifkan frekuensi radio darurat. Penerbangan 169 kilometer ditempuh dalam waktu 23 menit, dengan mesin dapat dinyalakan pada saat-saat terakhri. Pesawat selamat mendarat di Bandara Halim Perdana Kusuma. Dari penyelidikan insiden ini, radar penerbangan tak mampu melacak ada ancaman serius untuk penerbangan di jalur yang dilintasi pesawat itu. Hasil penyelidikan menyeluruh mendapatkan fakta, abu vulkanik yang bersifat kering tak terdeteksi radar yang dirancang membaca partikel basah dari awan dengan kandungan uap air. Pilot dan kru City of Edinburgh pun tak bisa membedakan asap yang muncul di kabinnya, karena bau belerang tak banyak beda dengan sisa pembakaran lain. Apalagi sesaat sebelum fenomena asap itu, terlihat kilatan api baik di depan kokpit maupun dari mesin. Penyelidikan insiden di Alaska Investigasi atas kecelakaan di Alaska antara lain menemukan rekaman percakapan antara menara kontrol Anchorage dan pilot pesawat. Percakapan terjadi ketika pesawat berada di ketinggian 25.000 kaki atau setara 7.620 meter di atas permukaan laut di atas Alaska. Pilot: "KLM 867 heavy is reaching level 250 heading 140" Anchorage Center: "Okay, Do you have good sight on the ash plume at this time?" Pilot: "Yea, it’s just cloudy it could be ashes. It’s just a little browner than the normal cloud." Pilot: "We have to go left now... it's smoky in the cockpit at the moment, sir." Anchorage Center: "KLM 867 heavy, roger, left at your discretion." Pilot: "Climbing to level 390, we’re in a black cloud, heading 130." Pilot: "KLM 867 we have flame out all engines and we are descending now!" Anchorage Center: "KLM 867 heavy, Anchorage?" Pilot: "KLM 867 heavy, we are descending now... we are in a fall!" Pilot: "KLM 867, we need all the assistance you have, sir. Give us radar vectors please!" Begitu percakapan antara kokpit dan menara kontrol itu rampung, empat mesin pesawat mati. Sistem kelistrikan pesawat gagal bekerja. Pesawat itu baru berumur enam bulan, saat melintasi kabut abu vulkanik. Hasil investigasi mendapatkan mesin pesawat telah terlapisi partikel debu yang sangat halus dari abu vulkanik. Lapisan abu yang sama telah mengacaukan sensor temperatur. Ini penyebab keempat mesin mengaktifkan mekanisme otomatis "mematikan diri". Prosedur keamanan sistem pesawat menyediakan mekanisme "standby" mesin ketika terjadi jeda saat mesin utama mati. Tak terkecuali di pesawat Boeing 747-400 tersebut. Sayangnya, dua kali upaya pilot menyalakan kembali mesin pesawat tak membuahkan hasil. Debu vulkanik, si kecil yang dapat mematikan mesin... Thomas J Casadevall dalam makalahnya, Volcanic Ash and Airports, menuliskan, abu vulkanik terdiri atas batuan halus, mineral, dan partikel padat berdiameter kurang dari 2 milimeter. Bahkan, diameter abu halus hanya 0,063 milimeter. Ukuran material itu mengecil saat semakin jauh jarak lontarannya dari gunung api. Abu vulkanik yang disemburkan gunung api juga dapat membawa aliran listrik statis. Di bandara, tebaran abu vulkanik menyebabkan jalan pesawat menyimpang dan mengganggu sistem kelistrikan pesawat. Ukuran partikel debu vulkanik sangat halus. Jauh lebih halus dibandingkan tepung terigu. Karenanya, abu vulkanik sangat ringan dan bisa melayang di udara dalam waktu lama. Penjelasan ini pun menerangkan bagaimana abu vulkanik dari letusan Gunung Krakatau pada 1883 bisa sampai ke Eropa meski sudah lewat berbulan-bulan. Bila dilihat menggunakan mikroskop, abu vulkanik berbahan dasar silika. Permukaannya memiliki sudut yang tajam, dengan tingkat ketajaman hanya sedikit di bawah intan. Dalam jumlah kecil, gesekan partikel debu ini dengan logam penyusun mesin akan bersifat abrasif, menggerus. Laporan penyelidikan atas insiden British Airways, abu vulkanik yang lolos melewati bilah mesin jet masuk lebih dalam ke ruang pembakaran yang mencampurkan oksigen dan bahan bakar, memunculkan semacam campuran leleh berkandungan abu vulkanik yang akan masuk semakin dalam ke sistem pembakaran dan pembangkitan tenaga pesawat. Jika ketinggian pesawat masih memadai, mematikan mesin masih akan punya cukup waktu sampai mesin kembali "dingin". Pada kondisi tersebut, uap dari yang terbentuk dari campuran abu vulkanik, oksigen, dan bahan bakar, bisa didorong keluar dari seluruh sistem mesin pesawat. Campuran leleh tersebut juga bisa menjadi lapisan keramik abrasif yang mengubah performa aerodinamika bilah-bilah mesin jet. Pada kondisi terburuk, merontokkan bilah itu akibat momentum gaya yang terjadi pada saat mesin berputar dengan kecepatan ekstra tinggi. Mesin bisa meledak di udara, bila gesekan berkecepatan tinggi itu terus berlanjut. Aturan keselamatan penerbangan Pada 1991, industri penerbangan dunia membentuk Pusat Saran Debu Vulkanis (VAAC), yang melibatkan ahli penerbangan, meteorologi, ahli vulkanologi, dan beberapa disiplin ilmu lain. Hingga 2010, pabrik mesin pesawat terbang belum menentukan batas tingkatan pasti kandungan partikel abu vulkanik yang bisa membahayakan mesin. Baru pada April 2010, badan regulasi penerbangan di Inggris menetapkan batas kandungan debu vulkanik yang masih aman untuk penerbangan pesawat bermesin jet dan propeler. Batas maksimal yang diizinkan adalah 2 miligram per meter kubik ruang udara. Angka ini kemudian dinaikkan menjadi 4 milimeter per kubik ruang udara pada Mei 2010. Apakah Indonesia menerapkan aturan ini? Yang jelas, setiap kali terjadi peristiwa gunung meletus, penerbangan di Indonesia menghentikan layanan. Tak terkecuali dalam letusan Gunung Kelud, Kamis (13/2/2014) menjelang tengah malam. Setidaknya tujuh bandara utama di Pulau Jawa menghentikan sementara operasional penerbangan, Jumat (14/2/2014), akibat letusan gunung yang berlokasi di perbatasan Kabupaten Kediri, Malang, dan Blitar itu. Tujuh bandara yang ditutup berlokasi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tujuh bandara itu adalah Bandara Abdulrahman Saleh di Malang, Bandara Juanda di Surabaya, Bandara Adi Soemarmo di Surakarta, Bandara Adisucipto di Yogyakarta, Bandara Ahmad Yani di Semarang, Bandara Sumberwulung di Cilacap, dan Bandara Husein Sastra Negara di Bandung. Penerbangan dari dan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur sama sekali berhenti. (Palupi Annisa Auliani)