MEULABOH. Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh berupaya membangkitkan kembali usaha masyarakat mengolah air laut menjadi garam sebagai kegiatan pemberdayaan ekonomi di daerah pesisir. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh Barat, Muhammad Ikbal, di Meulaboh, Selasa (1/8) mengatakan, kondisi saat ini sudah tidak ada lagi usaha pondok petani garam di daerah tersebut setelah kawasan pesisir pantai diratakan gelombang tsunami 2004. "Dulu di daerah kita ada petani garam, ada pondok-pondok usaha pembuatan garam, sekarang tidak ada lagi. Kami akan melakukan kajian kembali, apakah nanti dibentuk dalam sistem kelompok atau bagaimana, yang jelas lokasinnya dulu," sebutnya.
Ikbal menyatakan, kondisi saat ini meskipun Kabupaten Aceh Barat berada di garis pantai pesisir barat Aceh berhadapan langsung dengan Samudera Hindia-Indonesia, namun ketersediaan tambak sebagai tempat budidaya pengolahan garam sudah terbatas. Pengolahan air laut menjadi garam membutuhkan kajian terhadap kadar garam pada air laut, kemudian posisi tempat pengolahan harus bisa langsung mengakses air laut, sementara kondisi laut kawasan itu sangat terbuka dari hempasan gelombang tinggi. "Di dinas itu ada program pemberdayaan petani garam, bisa kita lakukan. Cuma tambaknya terbatas, karena dia langsung mengakses pada air laut, harus mengukur kadar garamnya, kalau kadar garamnya tidak tercapai tidak bisa dibuat," sebutnya. Lebih lanjut dijelaskan, baru-baru ini ada kegiatan mahasiswa Universitas Teuku Umar (UTU) melakukan kajian wilayah potensi pengembangan pengolahan garam, kemudian penelitian tersebut terhenti padahal hasilnya sudah dinantikan guna ditindak lanjuti. Meski demikian, Dinas Kelautan dan Perikanan akan mencoba membangun industri garam dengan cara lebih dinamis, seperti dengan menggunakan kolam terpal, namun terlebih dahulu akan dilakukan penetilian terhadap kadar air lautnya. "Saya melihat yang jauh sedikit dari muara itu seperti di sepanjang pesisir Kecamatan Samatiga hingga Kecamatan Arongan Lambalek, karena kalau terlalu dekat muara sama saja, kadar garamnya kurang tidak bisa diolah," jelasnya. Ikbal menyatakan, kegiatan tersebut juga bagian dari upaya menjawab kondisi saat ini, hampir semua wilayah di Indonesia mengalami kenaikan harga garam beryodium, termasuk di Aceh Barat yang berada di kawasan pesisir pantai.
Harga garam beryodium kemasan dari harga Rp 4.000/kg, naik menjadi Rp 10.000/kg, atau dari harga Rp 8.000/zak (isi 20 kemasan berat 2 kg), saat ini dijual seharga Rp 20.000/zak dan enceran Rp 2.500-Rp 3.000/kemasan kecil. Tidak hanya garam kemasan, garam lokal atau garam kampung di produksi Kabupaten Pidie yang diedarkan ke pasar Meulaboh, ikut mengalami kenaikan 100 persen, dari harga Rp 5.000/kg menjadi Rp 10.000/kg karena mengikuti tren kenaikan garam kemasan. "Itulah, karena di daerah kita tidak ada produksi garam kampung, ketika kejadian seperti ini tidak ada alternatif yang bisa digunakan. Produksi dari tetangga tidak bisa kita intervensi bila sudah masuk pasar," katanya menambahkan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia