ACU: Tantangan Presiden RI ke-7



Pengantar

Tulisan ini telah terbit di Harian KONTAN, Selasa, 1 April 2014. Redaksi menurunkan lagi tulisan ini di Kontan.co.id agar semakin banyak masyarakat mengetahui ide yang disampaikan oleh penulis. Opini Christianto Wibisono terbit setiap hari Senin di Harian KONTAN. Selamat membaca.

ACU: Tantangan Presiden RI ke-7


Oleh Christianto Wibisono, pendiri Institut Kepresidenan Indonesia dan Pusat Data Bisnis Indonesia.

Kamis, 27 Maret 2014, saya meluncurkan kembali Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI). Ini adalah lembaga kajian khusus yang membedah kekuatan apa dan siapa menguasai apa dalam wadah Indonesia Incorporated, bersaing dengan Japan Inc, Korea Inc, China Inc dan India Inc sekaligus harus aktif memimpin ASEAN Inc, bukan minder minta demosi jadi divisi dua ASEAN. 

Seperti diketahui, ASEAN dibagi secara non formal dalam divisi satu terdiri atas Indonesia (RI), Brunei, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Divisi dua terdiri atas Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam. Sejak 1992 PDBI telah memperkenalkan istilah ASEAN Inc dalam seminar bertema "Profile and Anatomy of ASEAN Inc" di Hotel Royal Oriental Singapura, menampilkan Anwar Nasution, Juwono Sudarsono, Prof Lee Shing-yi, pakar dana offshore Asian Currency Unit (ACU) di Singapura, dan konglomerat bumiputera Malaysia.

Sejak berdiri tahun 1980, PDBI telah menelusuri rekening ACU Singapura. Ini merupakan bagian dari arsitektur keuangan global sejak akhir Perang Dunia II ketika mata uang dollar AS semakin mengukuhkan peranan sebagai mata uang global menggantikan poundsterling yang dominan hingga Perang Dunia I.

Meskipun menjadi negara komunis, Uni Soviet tetap tidak bisa mengisolasi diri dari pengaruh dan peranan dollar AS dalam perdagangan internasional. Karena itu pada 1957 secara resmi Uni Soviet membuka rekening Eurodollar yang dibentuk di London untuk menampung dana bantuan Marshall Plan dari AS untuk membangun Eropa kembali dari puing-puing Perang Dunia II. 

Sebelas tahun kemudian, Singapura membuka rekening Asia Dollar untuk menampung dana-dana offshore di Asia Tenggara. Diawali dengan US$ 30 juta, terdiri dari US$ 17,8 deposit dan US$ 12,6 juta dana antar bank. Sejak Nixon menghentikan penyamaan mata uang dollar dengan emas pada 15 Agustus 1971, nama rekening ini berubah menjadi ACU. 

Pada 1981, AS membuka International Banking Facility (IBF) di New York, disusul Hong Kong tahun 1983 dan Japan Offshore Market tahun 1986. Pada tahun 1990, aset IBF New York mencapai senilai US$ 343,7 miliar, mengejar ACU Singapura yang senilai US$ 336,5 miliar.

Pada 26 Februari 1991, Alberto Lapuz, Vice President AT Kearney Inc, konsultan keuangan Singapura, mengumumkan hasil riset bahwa 41% rekening ACU berasal dari Indonesia, 19% dari Malaysia, 10% dari Singapura, dan 30% dari negara lain. Karena PDBI mengutip data tersebut, nama saya langsung dicoret oleh Presiden Soeharto dari daftar caleg nomor jadi Jawa Tengah. Mensesneg Moerdiono minta pembuktian yang isinya pernyataan saya bahwa PDBI hanya mengutip AT Kearney.

Mereka secara tidak ksatria mengingkari riset itu. Menurut mereka, data yang diumumkan resmi oleh Monetary Authority of Singapore (MAS) tidak boleh diterapkan ke data makro.

Tahun 1977, Tahir, Asisten Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo, wafat. Situasi ini juga mengungkapkan sengketa perebutan warisan antara istri mudanya, Kartika, dan anak dari istri tuanya, terungkap betapa seorang Tahir mempunyai rekening ratusan juta dollar AS dan mark Jerman di Sumitomo Bank, Citibank, dan lain-lain. Perlu waktu 17 tahun (1997-1994) sebelum Mahkamah Agung Singapura memutuskan bahwa US$ 100 juta dari dana itu harus dikembalikan kepada Pemerintah RI dan Pertamina. Itupun perlu kesediaan Menteri Pertahanan Benny Moerdani untuk duduk di kursi saksi peradilan “tipikor” Singapura itu. 

Setara dengan APBN

Singapura memang sangat konsisten dengan rule of law. Bila memang Anda bisa membuktikan bahwa sudah ada keputusan hakim yang final, putusan itu bisa menjadi bahan untuk merepatriasi aset yang diklaim Pemerintah RI. Sistem peradilan independen itulah yang merupakan kunci rahasia sukses sistem rekening offshore ACU di Singapura. 

Imelda Marcos pernah meyakinkan suaminya, mendiang Presiden Ferdinand Marcos, untuk membuka rekening offsore di Manila, dengan mengacu contoh pada Singapura. Begitu pula dengan Malaysia yang membuka Labuan sebagai offshore centre. 

Namun dua-duanya sepi nasabah. Tidak ada yang percaya menaruh dananya di negeri berpola diktator dan penguasanya menjadi despot yang mengabaikan yudikatif independen. Meskipun masih berdiri, Labuan tidak pernah menjadi saingan utama ACU Singapura. 

Sejak tahun 2013, pemerintah dan bank BUMN, seperti Bank Mandiri, mulai mengakui adanya dana milik RI yang parkir di rekening ACU Singapura. Estimasi dari Direktur Utama Bank Mandiri, Budi Gunadi Sadikin, nilai dana di ACU Singapura itu setara dengan seluruh APBN Indonesia, yakni mencapai Rp 1.700 triliun. Angka yang fantastis tentunya.

Dalam acara Kompas 100, saya sempat menanyakan kepada Menteri Keuangan Chatib Basri. Apa kebijakan pemerintah untuk merepatriasi dan mendayagunakan dana tersebut untuk pembangunan infrastruktur Indonesia. Menkeu Chatib menyatakan, tentu harus ada amnesty, tax holiday dan sebagainya. Perlu juga insentif fiskal atau introduksi jasa dan instrumen keuangan yang lebih canggih dan bervariasi untuk menarik pulang dana tersebut. 

Masalahnya, memang bukan sekadar menarik dana itu, terus menjadikannya sebatas deposito. Yang lebih penting lagi adalah mendayagunakan sumber dana tersebut. Sekalipun itu tetap tersimpan di perbankan Singapura maupun IBF New York, dana itu dapat menjadi leverage atau terserap dalam arus pembiayaan pembangunan fisik sektor riil di Indonesia . 

Terkait dengan ACU, saya sudah mempresentasikannya di hadapan sejumlah petinggi negeri dan pengusaha, kalangan elite lainnya. Saya menyampaikannya dengan bertema Revaluasi dan Repatriasi Asset Nasional ACU di Singapura Sebagai Misi Utama Presiden ke-7 RI. 

Pemahaman akan sumber dana ini sangat penting untuk diketahui para calon presiden (capres) mendatang. Sangat mubazir jika para capres tak pernah mendalami anatomi arsitektur keuangan off shore global. Padahal dananya sangat besar dan bisa didayagunakan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Umar Idris