JAKARTA. Omzet industri makanan dan minuman (mamin) pada tahun ini diprediksi tidak akan mencapai target yang sudah dihitung pada awal bulan lalu. Hal tersebut bisa terjadi bila pemerintah menerapkan bea masuk anti dumping (BMAD) polietilena tereftalat (PET). Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gappmi) Franky Sibarani menyebut potensi kenaikan harga akibat BMAD ini akan berbuntut penurunan konsumsi. "Bisa mengakibatkan penurunan omzet," ujar dia, Senin (10/2). Padahal akibat kenaikan biaya produksi yang didorong naiknya biaya energi, upah buruh, dan pelemahan Rupiah saja, omzet di tahun ini bakal melambat dari 7% jadi hanya 6%. Awalnya, pelaku usaha mamin memprediksi penjualan mamin di dalam negeri selama 2014 masih bisa naik dari Rp 745 triliun jadi Rp 789 triliun. Namun bila BMAD ini diterapkan, Gapmmi memprediksi omzet mereka bakal tergerus sampai RP 4,5 triliun. Artinya, omzet di tahun ini terancam hanya menembus Rp 784,5 triliun alias hanya tumbuh 5,2% saja. Penurunan konsumsi ini tak lepas dari potensi kenaikan harga yang harus dilempar ke konsumen. "BMAD PET membuat kenaikan harga tak terkendali," katanya. Dengan berbagai kenaikan biaya yang terjadi di awal tahun saja, dia bilang harga mamin bisa naik di kisaran 5% sampai 10%. Kalau ditambah kenaikan biaya kemasan karena pengenaan BMAD ini, maka kenaikan harga mamin di pasaran bisa menembus 15%. Sebelumnya Ketua Umum Asosiasi Produsen Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) Hendro Baruno bilang kontribusi biaya kemasan terhadap harga produk AMDK berkisar 20-80%. Dengan kontribusi sebesar itu, tentu sangat sensitif bagi pergerakan harga di produk pasaran. "Setiap kenaikan harga sekecil apapun akan berpotensi menurunkan daya saing,” ujarnya. Produksi PET sendiri pada 2013 mencapai 467 ribu ton, namun sebanyak 250 ribu ton di antaranya dijual ke luar negeri. Sehingga ada kekosongan pasokan sebesar 167 ribu ton yang harus didatangkan secara impor. Selain itu, industri juga membutuhkan jumlah pemasok PET yang lebih banyak untuk menjaga kelangsungan usaha bila terjadi permasalahan produksi pada salah satu supplier. "Dan ada persaingan harga yang sehat," paparnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Ada BMAD, target omzet mamin sulit untuk dicapai
JAKARTA. Omzet industri makanan dan minuman (mamin) pada tahun ini diprediksi tidak akan mencapai target yang sudah dihitung pada awal bulan lalu. Hal tersebut bisa terjadi bila pemerintah menerapkan bea masuk anti dumping (BMAD) polietilena tereftalat (PET). Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gappmi) Franky Sibarani menyebut potensi kenaikan harga akibat BMAD ini akan berbuntut penurunan konsumsi. "Bisa mengakibatkan penurunan omzet," ujar dia, Senin (10/2). Padahal akibat kenaikan biaya produksi yang didorong naiknya biaya energi, upah buruh, dan pelemahan Rupiah saja, omzet di tahun ini bakal melambat dari 7% jadi hanya 6%. Awalnya, pelaku usaha mamin memprediksi penjualan mamin di dalam negeri selama 2014 masih bisa naik dari Rp 745 triliun jadi Rp 789 triliun. Namun bila BMAD ini diterapkan, Gapmmi memprediksi omzet mereka bakal tergerus sampai RP 4,5 triliun. Artinya, omzet di tahun ini terancam hanya menembus Rp 784,5 triliun alias hanya tumbuh 5,2% saja. Penurunan konsumsi ini tak lepas dari potensi kenaikan harga yang harus dilempar ke konsumen. "BMAD PET membuat kenaikan harga tak terkendali," katanya. Dengan berbagai kenaikan biaya yang terjadi di awal tahun saja, dia bilang harga mamin bisa naik di kisaran 5% sampai 10%. Kalau ditambah kenaikan biaya kemasan karena pengenaan BMAD ini, maka kenaikan harga mamin di pasaran bisa menembus 15%. Sebelumnya Ketua Umum Asosiasi Produsen Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) Hendro Baruno bilang kontribusi biaya kemasan terhadap harga produk AMDK berkisar 20-80%. Dengan kontribusi sebesar itu, tentu sangat sensitif bagi pergerakan harga di produk pasaran. "Setiap kenaikan harga sekecil apapun akan berpotensi menurunkan daya saing,” ujarnya. Produksi PET sendiri pada 2013 mencapai 467 ribu ton, namun sebanyak 250 ribu ton di antaranya dijual ke luar negeri. Sehingga ada kekosongan pasokan sebesar 167 ribu ton yang harus didatangkan secara impor. Selain itu, industri juga membutuhkan jumlah pemasok PET yang lebih banyak untuk menjaga kelangsungan usaha bila terjadi permasalahan produksi pada salah satu supplier. "Dan ada persaingan harga yang sehat," paparnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News