Ada IPOP, sawit rakyat terancam tidak terserap



JAKARTA. Pemerintah akan meminta penjelasan dari lima perusahaan sawit yang menandatangani The Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP). Sebab dengan menandatangani IPOP, perusahaan tersebut setuju dengan syarat yang ditetapkan IPOP.

Syarat tersebut antara lain: (1) Melarang ekspansi kebun sawit (No deforestasi), (2) Melarang kebun sawit di lahan gambut (No Peatland), (3) Melarang kebun sawit menggunakan lahan berkarbon tinggi/High Carbon Stock (No HCS), dan (4) Melarang menampung TBS/CPO dari kebun sawit hasil deforestasi, lahan gambut dan HCS (traceability).

Akibat larangan tesebut, para petani yang memiiki kebun sawit terancam tidak dapat menjual Tandan Buah Segar (TBS) mereka ke lima perusahaan sawit yang meneken IPOP tersebut. Padahal kelima perusahaan itu menyerap sekitar 90% dari seluruh total produksi sawit di Indonesia. Kelima perusahaan sawit ini adalah Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Musim Mas, Golden Agri, dan Asian Agri.


Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemhut) San Afri Awang mengatakan, komitmen lima perusahaan sawit nasional yang tergabung dalam IPOP tersebut tidak masuk akal.

Pasalnya, dalam kesepakatan itu disebutkan kalau pembangunan sawit harus nol deforestasi dengan memasukkan hutan sekunder dan belukar tua, sebagai lahan yang tak boleh dieksploitasi. “Mana ada lahan lagi kalau belukar tua tak boleh dibuka,” ujar San Afri Awang, Kamis (3/9).

Ia bilang, meskipun luas kebun sawit di Indonesia sudah mencapai lebih dari 10 juta hektare (ha), tetapi pemerintah tetap khawatir dengan komitmen IPOP yang menetapkan standar tinggi ini. Terlebih, usulan-usulan yang masuk banyak ingin membangun kebun sawit, terutama di Papua. Menurutnya, andaikata terjadi tukar menukar lahan Alokasi Penggunaan Lain (APL) dan Hutan Produksi Konversi (HPK), tidak bisa karena stok karbon masih di atas 35. "Jadi sulit karena masih banyak orang mau bangun di Papua,” terangnya.

Awang menilai IPOP ini sudah membahayakan rakyat, terutama petani-petani sawit yang juga menjadi pemasok dari pebisnis besar. Saat mereka tak bisa memenuhi standar tinggi itu, produk sawit mereka bisa ditolak. Ia menilai IPOP sudah melanggar UUD’45 dan sebagai organisasi sudah melampaui kewenangan pemerintah. Sebab, aturan pemerintah membolehkan pembangunan di hutan sekunder dan semak belukar tua, tetapi dalam IPOP justru dilarang.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud menambahkan, pemerintah akan memanggil kelima perusahaan yang meneken IPOP itu untuk mencari solusi terbaik.

Sebab, akibat penerapan IPOP tersebut sudah ada perusahaan di Medan dan di Aceh yang tidak bisa menjual CPO ke grup usaha Wilmar. "Ini kan dampak selanjutnya ke petani, sebab perusahaan tersebut juga banyak membeli sawit dari petani," terang Musdhalifah.

Apabila nantinya semua perusahaan menengah dan kecil tidak bisa menjual CPO-nya kepada lima perusahaan besar tersebut, kata Musdhalifah, jelas sangat membahayakan perekonomian nasional. Tidak hanya itu saja, tapi juga berdampak buruk pada kehidupan sosial masyarakat sekitar kebun.

"Bayangkan kalau masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya pada sawit, tapi tiba-tiba TBS-nya (tandan buah segar) tidak laku dijual, kan bisa kacau. Apalagi para petani ini jumlahnya ada 4,5 juta," tukas Musdhalifah.

Menurut Musdhalifah, sebenarnya kesepakatan antara perusahaan Indonesia dengan manajemen IPOP merupakan urusan business to business (B to B). Namun karena berdampak pada petani dan perekonomian nasional, maka pemerintah wajib menyelesaikan persoalan ini.

Terkait dengan isu keberlanjutan yang diusung IPOP ini, Musdhalifah bilang pemerintah Indonesia telah memiliki standarisasi yang dinamakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Karena itu, pelaku sawit di tanah air cukup mengikuti ISPO ini, apalagi ISPO sifatnya wajib diikuti perusahaan sawit di Indonesia.

Seperti diketahui kelima perusahaan sawit ini menampung hampir 90% seluruh TBS dan CPO Indonesia, termasuk di dalamnya TBS dari 4,5 juta sawit rakyat. Dengan prinsip IPOP yang mencakup seluruh mata rantai (supply chain) perusahaan dan bersifat dapat ditelusuri. Ini berarti, kendati penandatanganan IPOP dilakukan oleh The Big Five Company, telah menyeret seluruh industri minyak sawit Indonesia ke dalam pasungan IPOP tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri