KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50/2020 mendapat penolakan pengusaha logistik. Sebab, akan melarang importir menjual barang dengan nilai kurang dari US$ 100 atau setara Rp 1,5 juta per unit di marketplace. Permendag Nomor 50/2020 mengatur Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Ketua Asosiasi Pengusaha Logistik E-commerce (APLE) Sonny Harsono mengatakan, kebijakan baru tersebut tidak merefleksikan kondisi nyata di lapangan.
Sebagai contoh, jika pemerintah menghentikan impor barang-barang seperti aksesoris ponsel atau elektronik yang tidak diproduksi di dalam negeri, justru menimbulkan risiko terjadinya kegiatan impor ilegal. “Sebab, secara prinsip ekonomi, jika permintaan masih ada, penawaran pun akan berlangsung. Kondisi ini sebenarnya sudah tergambar pada e-commerce lokal yang menunjukkan sebagian besar barang impor ditawarkan oleh penjual non-importir,” ujar Sony dalam keterangan resmi, Rabu (2/8).
Baca Juga: Larangan Produk Impor di Bawah US$ 100, Mendag: Hanya untuk Cross Border Commerce Lebih lanjut, ia menjelaskan, platform yang memfasilitasi transaksi cross-border semacam itu tidak hanya ditemukan di Indonesia, melainkan di berbagai negara. Namun demikian, di negara-negara lain berlaku pula kebijakan berupa pengenaan pajak pada harga tertentu, bukan pelarangan di bawah harga tertentu. APLE juga menyebut ada platform besar yang melakukan transaksi ekspor cross-border UMKM ke enam negara dengan volume melebihi angka impor. Artinya, transaksi ini sesungguhnya meningkatkan current account, atau selisih antara ekspor dan impor di suatu negara. Maka, penutupan keran transaksi impor lintas negara justru akan mengancam eksistensi dari pelaku UMKM apabila platform belanja menghentikan semua transaksi cross-border ke Indonesia. Apalagi, APLE menjelaskan, proses impor cross-border ke Indonesia dewasa ini sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dari sisi proses, impor dilakukan 100% secara digital dan terotomatisasi, terlebih bea cukai sudah mengaplikasikan e-catalog agar pendapatan negara yang berasal dari bea masuk (BM), pajak pertambahan nilai (PPN), dan Pajak Penghasilan (PPh) yang besar dapat dipastikan sesuai. Oleh karena itu, APLE berharap pemerintah tetap memberikan dukungan bagi platform belanja untuk menjalankan transaksi cross-border.
Sebab, platform yang tidak melakukan transaksi cross- border justru akan mengancam keberadaan dari pelaku UMKM tersebut lantaran masih ada barang eks-impor di sana yang memang boleh diperjualbelikan tanpa harus memenuhi kewajiban pemberian keterangan asal barang. Hal itu dinilai merugikan negara karena barang-barang eks-impor jadi tidak kena pajak.
Baca Juga: Larangan Impor Barang di bawah US$ 100 Cuma Efektif untuk Cross Border Commerce Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat