KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi pertumbuhan pasar obligasi diperkirakan terbatas. Obligasi korporasi dinilai lebih menarik dibandingkan obligasi pemerintah. Head of Fixed Income Trimegah Asset Management (AM) Darma Yudha mengatakan, potensi pertumbuhan obligasi tetap ada. Ini disebabkan tekanan dari kenaikan suku bunga sudah mengecil. "Dalam 6-12 bulan ke depan ada potensi
cut rate," kata dia kepada Kontan.co.id, Senin (27/11).
Hanya saja, Yudha menyebut yang perlu diwaspadai adalah suplai US Treasury (UST) yang masih cukup besar. Ia menyebut, pada kuartal IV ini penyebab
yield UST naik karena tingginya suplai dibandingkan permintaan.
Baca Juga: Sudah Capai Target, Kemenkeu Catat Nilai Transaksi Lelang Tembus Rp 33 Triliun Efeknya ke Indonesia, potensi penurunan
yield terbatas. Selain itu juga disebabkan dari pergerakan rupiah yang dinilai belum akan menguat secara signifikan. Dijelaskan, rupiah belum akan menguat signifikan karena
rating belum di-
upgrade. "Baru bisa di-
upgradeĀ di 2025 karena potensi
upgrade itu masih menunggu pemerintah selanjutnya dan kebijakannya, sehingga bisa dikatakan
bond market Indonesia potensi penguatannya terbatas, tetapi pelemahannya juga terbatas," paparnya. Ia pun memperkirakan
yield SBN acuan 10 tahun di level 6,5%.
Baca Juga: Begini Cara Terbaik Menginvestasikan Uang untuk Pensiun Yudha menilai potensi investasi obligasi lebih menarik di obligasi korporasi. Ini didorong kupon yang relatif lebih tinggi dan risiko korporasi akan lebih kecil. "Karena aktivitas ekonomi sudah pulih dan tiga bulan ke depan, dengan adanya pemilu saya rasa aktivitas ekonomi akan lebih tinggi lagi sehingga akan membuat kinerja emiten-emiten
issuer bond, mayoritas akan lebih baik," terangnya. Head of Business Development Division HPAM Reza Fahmi juga berpandangan serupa bahwa prospek obligasi korporasi di Indonesia tampak lebih menarik dibandingkan dengan SBN. "Terutama dengan potensi penahanan suku bunga," sebutnya.
Baca Juga: Sarana Multi Infrastruktur Bakal Menawarkan Obligasi Rp 1 Triliun Sejumlah faktor pendukung pandangan tersebut adalah pemulihan ekonomi, stabilitas harga, kinerja lebih unggul, potensi kenaikan komposisi, dan tingkat imbal hasil.
Ia menyebut, obligasi korporasi mendapat dorongan dari pemulihan ekonomi yang membaiknya neraca keuangan perusahaan setelah beradaptasi dengan pandemi. Lalu, cenderung lebih stabil dibandingkan SBN, terutama dalam menghadapi kenaikan suku bunga. Kemudian, pada awal 2022 kinerja obligasi korporasi lebih unggul dibandingkan SBN, tercermin melalui indeks obligasi korporasi yang naik. Obligasi korporasi juga sebagai
underlying asset atas reksadana pendapatan tetap berpotensi mengalami kenaikan komposisi sebagai respons perubahan pasar. "Tingkat imbal hasil obligasi korporasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan SBN membuatnya menjadi salah satu alternatif investasi yang menarik pada kelas aset obligasi," imbuhnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati