Ada Pergeseran Besar di Perpajakan Internasional



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kerangka Kerja Inklusif OECD/G20 tentang Base Erosion and Profil Shifting (BEPS) mencapai kesepakatan mengenai aturan pajak minimum global yang tertera dalam proposal Pilar Dua OECD pada Oktober 2021.

Pilar Dua ini memperkenalkan Tarif Pajak Efektif (ETR) minimum global, yaitu kelompok perusahaan multinasional dengan pendapatan konsolidasi di atas € 750 juta akan dikenakan ETR minimum sebesar 15% atas pendapatan yang diperoleh di yurisdiksi pajak rendah.

OECD telah merekomendasikan agar peraturan Pilar Dua berlaku ini efektif pada tahun 2024, dengan pengecualian Peraturan Undertaxed Profits Rule (UTPR) yang direkomendasikan untuk berlaku efektif pada tahun 2025.


Ketua Dewan Pengurus Nasional (DPN) International Tax Conference (IAI), Ardan Adiperdana menyoroti pergeseran besar yang sedang terjadi dalam pajak internasional.

Menurutnya, kemunculan big data yang didorong oleh pertukaran otomatis informasi (AEoI) dan industri e-commerce yang berkembang pesat, membuat otoritas pajak harus menjalani transformasi digital di bidang perpajakan.

Transformasi ini diharapkan menghasilkan solusi untuk meningkatkan pendapatan pajak, mengurangi biaya kepatuhan dan administrasi, mendorong transparansi, dan memungkinkan penekanan pada kegiatan bernilai tinggi.

Baca Juga: Resmi! OECD Terbitkan Konvensi Multilateral Pilar 1 Pajak Global

Ardan menyoroti sifat dinamis transfer pricing, yang secara historis berlandaskan konsep nexus atau kehadiran yang dapat dikenai pajak. Pendekatan tradisional ini mengalami gelombang transformasi karena inisiatif Pilar Satu yang diinisiasi OECD, yang berfokus pada pembentukan sistem perpajakan internasional yang lebih adil. Pilar Satu ini mengalokasikan hak pajak ke yurisdiksi pasar, yang mengubah lanskap transfer pricing.

“Pengenalan perhitungan pajak minimum melalui Pilar Dua harus mematuhi prinsip arm's length. Penyesuaian penciptaan nilai dan pertimbangan Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) juga akan memengaruhi penentuan arm's length," ujar Ardian dalam keterangan resminya, dikutip Senin (23/10).

Sementara itu, Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Iwan Djuniardi mengatakan, saat ini sedang terjadi pergeseran paradigma pada ekonomi global.

Ia bilang, pertumbuhan ekonomi dewasa ini telah bergeser dari barat ke timur, terlihat dari naiknya pertumbuhan perusahaan berstatus Fortune 500 di negara-negara Asia Pasifik.

Aspek lain yang harus diantisipasi secara serius adalah pesatnya otomasi secara global yang mengubah model bisnis secara drastis. Pada 2045, diperkirakan lebih dari 50% industri global akan mengimplementasikan otomasi dalam proses bisnisnya.

Otomasi ini diperkuat dengan meningkatnya transaksi digital yang menggantikan transaksi tunai. Namun di sisi lain, pertumbuhan ini sekaligus meningkatkan ancaman siber yang harus diantisipasi oleh para pelaku industri dan regulator di seluruh dunia.

Iwan menekankan bahwa berbagai kondisi di atas telah mendorong otoritas pajak di seluruh dunia menyesuaikan kebijakan serta memodernisasikan administrasi perpajakannya.

Dalam hal ini, pemerintah Indonesia juga melakukan transformasi untuk menjadikan sistem perpajakan Indonesia agar lebih sederhana dan efisien. Implementasi core tax system berupa pembaruan sistem inti administrasi perpajakan yang dijalankan DJP, dinilai dapat menyederhanakan proses administrasi perpajakan sehingga lebih efisien bagi wajib pajak.

"Ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang bertujuan meningkatkan rasa keadilan bagi wajib pajak, sehingga yang mendapatkan manfaat ekonomi lebih tinggi diharuskan memberikan kontribusi melalui pajak lebih banyak," katanya.

Pada kesempatan yang sama, Maqbool Lalljee dari Moody’s Analytics menekankan pentingnya reformasi perpajakan internasional untuk menciptakan keadilan bagi wajib pajak dan yurisdiksi. Menurutnya, peraturan perpajakan bagi perusahaan internasional telah diberlakukan sekitar satu abad yang lalu, berdasarkan undang-undang perpajakan domestik dan perjanjian internasional.

Dewasa ini, perkembangan digital telah membuat model bisnis perusahaan besar dan perusahaan multinasional telah berubah, dan tidak ada lagi keharusan memiliki kehadiran fisik di wilayah tertentu.

Sejak awal tahun 1990-an, semakin mudah bagi perusahaan besar/perusahaan multinasional untuk mengalihkan keuntungannya ke yurisdiksi dengan pajak rendah atau tanpa pajak, terutama melalui peningkatan penggunaan dan eksploitasi aset tak berwujud.

Baca Juga: Implementasi Pilar Satu Pajak Global, Negara Bisa Cuan US$ 200 Miliar

OECD memperkirakan kerugian akibat praktik perpajakan yang tidak adil itu berkisar antara US$ 240 miliar hingga lebih dari US$ 480 miliar setiap tahun.

“Proyek BEPS OECD/G20 yang dimulai pada tahun 2013 telah menghasilkan pengembangan peraturan baru berdasarkan Pilar Satu dan Pilar Dua untuk mereformasi dasar peraturan perpajakan perusahaan internasional dan memastikan bahwa perusahaan multinasional membayar pajak yang adil di mana pun mereka beroperasi,” ujar Maqbool.

Sementara itu, Ketua Kompartemen Akuntan Perpajakan (KAPj) IAI, John Hutagaol menyampaikan lanskap pajak internasional telah berubah dengan cepat, didorong oleh Pilar Dua, transformasi digital, dan adanya konsep transfer pricing yang terus dimutakhirkan.

Apalagi saat ini DJP Kemenkeu sedang dalam proses meluncurkan PSIAP yang merupakan Reformasi Inti Sistem Administrasi Perpajakan. Sistem ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan di bidang informasi dan teknologi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat