JAKARTA. Pakar hukum tata negara, Refly Harun berpendapat pembatalan Undang-undang nomor 4 tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi menimbulkan kecurigaan. MK dikhawatirkan telah "berselingkuh" dengan pemohon dan juga partai politik dalam membatalkan undang-undang tersebut. "Saya khawatir kemudian putusan ini ada perselingkuhan. Antara pemohon, MK, dan kemudian partai politik yang happy kembali karena kemudian anggota parpol bisa jadi hakim konstitusi," ujar Refly dalam diskusi di Jakarta, Minggu (16/2/2014). Pekan lalu, MK membatalkan UU MK. Salah satu konsekuensi dari pembatalan undang-undang itu adalah batalnya syarat hakim konstitusi minimal 7 tahun tidak menjadi kader partai politik. Batalnya putusan itu membuat para politisi bisa kembali terpilih menjadi hakim konstitusi. Refly mengaku khawatir hal tersebut akan menyebabkan MK tidak pernah benar-benar independen karena ada kekuatan-kekuatan politik yang memainkannya. "Dan MK dalam kondisi saat ini memerlukan kekuatan-kekuatan politik itu untuk dukungan dan bertahan dari gempuran opini masyarakat yang sudah hilang kepercayaannya," ucap Refly. Usai putusan terkait UU MK, kata Refly, MK justru bersikap mengancam. Misalnya, MK menyatakan setiap pihak yang menentang putusan MK akan dianggap melakukan contempt of court alias menghina pengadilan. Refly berharap MK tidak membatasi hak berbicara setiap orang. Lebih lanjut, Refly pun menyindir putusan MK yang menetapkan para komisioner KPU tidak boleh berasal dari partai politik. Menurut Refly, putusan soal KPU itu berbanding terbalik dengan sikap MK yang memilih partisan untuk latar belakang hakim konstitusi. "Ini bagaimana KPU nggak boleh dari partai, tapi hakim MK yang memutuskan semua perkara pemilu, yang paling berwenang, malah diisi parpol," tukas Refly. (Sabrina Asril)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Ada "perselingkuhan" di balik pembatalan UU MK
JAKARTA. Pakar hukum tata negara, Refly Harun berpendapat pembatalan Undang-undang nomor 4 tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi menimbulkan kecurigaan. MK dikhawatirkan telah "berselingkuh" dengan pemohon dan juga partai politik dalam membatalkan undang-undang tersebut. "Saya khawatir kemudian putusan ini ada perselingkuhan. Antara pemohon, MK, dan kemudian partai politik yang happy kembali karena kemudian anggota parpol bisa jadi hakim konstitusi," ujar Refly dalam diskusi di Jakarta, Minggu (16/2/2014). Pekan lalu, MK membatalkan UU MK. Salah satu konsekuensi dari pembatalan undang-undang itu adalah batalnya syarat hakim konstitusi minimal 7 tahun tidak menjadi kader partai politik. Batalnya putusan itu membuat para politisi bisa kembali terpilih menjadi hakim konstitusi. Refly mengaku khawatir hal tersebut akan menyebabkan MK tidak pernah benar-benar independen karena ada kekuatan-kekuatan politik yang memainkannya. "Dan MK dalam kondisi saat ini memerlukan kekuatan-kekuatan politik itu untuk dukungan dan bertahan dari gempuran opini masyarakat yang sudah hilang kepercayaannya," ucap Refly. Usai putusan terkait UU MK, kata Refly, MK justru bersikap mengancam. Misalnya, MK menyatakan setiap pihak yang menentang putusan MK akan dianggap melakukan contempt of court alias menghina pengadilan. Refly berharap MK tidak membatasi hak berbicara setiap orang. Lebih lanjut, Refly pun menyindir putusan MK yang menetapkan para komisioner KPU tidak boleh berasal dari partai politik. Menurut Refly, putusan soal KPU itu berbanding terbalik dengan sikap MK yang memilih partisan untuk latar belakang hakim konstitusi. "Ini bagaimana KPU nggak boleh dari partai, tapi hakim MK yang memutuskan semua perkara pemilu, yang paling berwenang, malah diisi parpol," tukas Refly. (Sabrina Asril)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News