Ada Potensi Defisit Neraca Beras, Begini Kata Ekonom



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, inflasi September tahun ini ada di level 2,28% year on year (YoY), turun dari bulan sebelumnya 3,27% YoY. Meski melandai, ekonom memperkirakan inflasi di akhir tahun nanti akan tetap meningkat.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat, rendahnya inflasi di bulan September ini dikarenakan belum ada dorongan dari sisi permintaan pada saat hari raya Natal dan tahun baru yang akan berlangsung pada bulan November dan Desember nanti.

Bhima memperkirakan, inflasi bisa berada di kisaran level 3,9% YoY sampai 4% YoY pada akhir tahun 2023. Menurutnya, proyeksinya itu disebabkan oleh potensi defisit neraca beras yang juga akan berimbas pada kemungkinan naiknya harga beras.


“Apalagi beras kontribusinya juga cukup besar terhadap total inflasi volatile food, maka imbasnya pastinya akan ke inflasi secara umum,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Senin (02/10).

Baca Juga: Cegah Inflasi Pangan, Optimalkan Fiskal Daerah dengan Anggaran Belanja Tak Terduga

Lonjakan harga beras turut memicu kenaikan inflasi pada bulan ini, dengan andil inflasi sebesar 0,18%, besaran inflasinya di level 5,61% MtM.

Adapun inflasi beras ini terjadi di 85 kota di Indonesia. Catatan BPS, inflasi beras tertinggi ada di Mataram dengan level 17,35% MtM, Bima di level 13,82% MtM, Sumenep di level 12,97% MtM, dan Palembang di level 12,24% MtM. Sementara itu, deflasi beras hanya terjadi di 4 kota.

BPS menyebut, kenaikan harga beras dipicu oleh berkurangnya pasokan akibat kemarau berkepanjangan, dan penurunan produksi karena efek El-Nino.

Bhima menjelaskan, pemberlakuan impor beras akan menjadi solusi jangka pendek yang dapat dilakukan pemerintah. Namun, hal ini akan terkendala dengan ancaman pembatasan ekspor dari sejumlah negara eksportir utama beras, seperti India, Thailand, dan Vietnam.

Maka itu, Bhima mengimbau pemerintah untuk melakukan optimalisasi penyerapan gabah dari Bulog, terutama di daerah-daerah yang masih berpotensi panen raya. Juga, didorong dengan alokasi subsidi pupuk dan subsidi benih.

Kemudian, Bhima berpendapat, diperlukan pembangunan sumur dan irigasi untuk daerah-daerah yang terkena dampak dari El Niño. Serta diperlukan koordinasi pengadaan beras antara daerah yang surplus dengan daerah yang mengalami defisit neraca beras.

Dia menambahkan, konsumsi dari pangan-pangan lokal alternatif juga perlu didorong, misalnya seperti jagung, singkong, sorgum, hingga sagu.

“Jadi banyak solusi-solusi yang bisa dijalankan, tapi memang ini perlu langkah cepat dan dukungan dari anggaran yang memadai,” kata Bhima

Ekonom Makro Ekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky mengungkap, kenaikan harga beras akan menjadi salah satu ancaman terbesar dari potensi kenaikan inflasi di sisa tahun 2023, di samping kenaikan harga energi.

Baca Juga: BPS Beberkan Penyebab Lonjakan Harga Beras, Apa Itu?

Menurut Riefky, hal itu didorong oleh adanya potensi defisit dari neraca beras. Sehingga, pemerintah perlu memikirkan cara untuk menjaga kecukupan pasokan beras, baik melalui strategi impor maupun strategi lainnya.

“Memang sejauh ini masih mampu di-manage oleh pemerintah, tapi kalau pemerintah tidak mampu manage ini nampaknya inflasi akan melonjak cukup signifikan,” ungkap Riefky.

Riefky memperkirakan, inflasi di sisa tahun 2023 akan berada di kisaran 2% YoY hingga 3% YoY. Menurutnya, ke depan inflasi masih bisa menunjukkan tren penurunan.

Namun, dia meramal inflasi di tahun depan tampaknya relatif akan meningkat, hingga di atas 3% YoY, melihat ancaman dari menipisnya pasokan beras, beriringan dengan peningkatan dari sisi permintaan di tahun pemilu yang akan datang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .