KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi ketidakmampuan Evergrande Group atau Evergrande Real Estate Group dalam membayar kewajibannya yang jatuh tempo menimbulkan kekhawatiran para pelaku pasar global, tak terkecuali di Indonesia. Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) Budi Hikmat mengatakan, para pelaku pasar dalam negeri merespon beragam terkait isu gagal bayar perusahaan pengembang properti terbesar kedua di Tiongkok ini dan meminta semua pihak untuk mengantisipasi dampaknya terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini didasarkan pada eratnya hubungan perekonomian China-Indonesia dan posisi China sebagai salah satu tujuan utama ekspor Indonesia sehingga dikhawatirkan potensi goncangan pada perekonomian China akan memberikan spillover pada perekonomian Indonesia.
"Pasalnya, China adalah salah satu mitra dagang dan tujuan ekspor Indonesia bersama Amerika Serikat dan Jepang. Bahkan ada pandangan yang mengaitkan potensi permasalahan yang membelit Evergrande Group ini dengan krisis subprime mortgage 2008," kata Budi, dalam keterangan resmi, Senin (27/9).
Baca Juga: Evergrande bisa dapat US$ 600 juta dari menjual saham perusahaan asuransi jiwa Seperti diketahui, krisis tersebut telah menyeret Lehman Brothers ke jurang kebangkrutan dan mengakibatkan krisis keuangan yang menguncang ekonomi di dunia. Menurutnya, sejauh ini, regulator dan pelaku pasar masih menanggapi secara optimistis isu gagal bayar Evergrande. Jika pun memang terjadi gagal bayar, dampaknya pun diperkirakan tidak akan separah krisis subprime mortgage 2008 karena ada dua point penting yang membedakan kedua kondisi tersebut. Pertama, berbeda dengan kejadian 2008, permasalahan gagal bayar Evergrande ini telah diketahui dan dapat diperkirakan sejak lama oleh pasar. Ketika tiga seri surat utang Evergrande telah mengalami penurunan nilai sejak Mei 2021, pada bulan Juni 2021 S&P telah men-downgrade peringkat utang mereka dan ujungnya September Evergrande disebut hampir default. "Ada masa di mana pasar telah aware akan potensi ini dan memberikan ruang untuk mengantisipasi dampaknya,” jelas Budi. Kedua, menghadapi potensi gagal bayar ini, Evergrande masih memiliki land and property inventory (cadangan lahan dan properti) yang cukup mumpuni dan dapat dikonversi untuk membayar utang jatuh tempo mereka. Hal ini berbeda dengan kejadian 2008 di mana perusahaan yang berpotensi gagal bayar hanya memiliki paper assets berupa derivative. Hal positif lain yang direspon pasar dan membuat isu gagal bayar Evergrande ini ditanggapi optimis adalah, Evergrande melalui keterbukaan informasi ke otoritas bursa Tiongkok bahwa mereka akan tetap membayar bunga salah satu bond berdenominasi Yuan yang jatuh tempo pada 23 September 2021 sebesar 232 juta Yuan. Selain itu, pemerintah China melalui beberapa kesempatan dikabarkan akan turun tangan dalam melakukan restrukturisasi utang Evergrande dan likuidasi sejumlah aset potensial. Sehingga dalam jangka pendek, pihaknya masih optimistis potensi gagal bayar Evergrande ini hanya akan berdampak minim terhadap perekonomian Indonesia dan tidak akan se-sistemik krisis 2008 lalu. Namun permasalahan ini akan berdampak pada bondholders Evergrande, namun belum akan membuat sistem keuangan global kolaps. Apabila ke depan ternyata permasalahan semakin besar dan di luar kendali Pemerintah China, maka perlu diwaspadai potensi pelemahan sektor properti dan infrastruktur China pasca kejadian tersebut.
Baca Juga: Bursa Asia bervariasi di pagi ini (27/9), simak penyebabnya "Karena hal ini mungkin akan berdampak pada demand ekspor komoditas Indonesia, khususnya pada ekspor iron and steel ke China yang selama ini menjadi salah satu komoditas unggulan ke negeri Tirai Bambu tersebut," terangnya. Oleh karena itu, walaupun kondisi saat ini masih positif, namun pelaku pasar di Indonesia masih perlu memberikan perhatian dan melakukan analisa tajam untuk mengantisipasinya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi