KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saham-saham lapis kedua dan lapis ketiga tidak lagi mendominasi pergerakan bursa saham. Saat ini, bursa cenderung ditopang saham-saham likuid, khususnya saham likuid berkapitalisasi pasar besar. Senior Investment Information PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Nafan Aji Gusta mencermati, investor memang cenderung beralih dari saham-saham lapis kedua dan lapis ketiga ke saham-saham likuid big caps. Ini tercermin dari indeks IDX SMC Composite yang sempat tersengat di awal tahun mencetak kinerja paling tinggi secara year to date (ytd), hingga 28,15% ytd. Sebagai pembanding, IHSG naik 11,24% ytd dan LQ45 terkerek 1,77% ytd.
Akan tetapi, secara quartal to date (qtd), saham-saham likuid cenderung membukukan kinerja yang lebih baik. Misalnya saja, indeks LQ45 menguat 6,43% qtd, indeks Pefindo25 naik 11,53% qtd dan IDX BUMN20 terkerek 9,95% qtd. Nafan mencermati, di awal tahun 2021, pandemi Covid-19 memang mengerek saham-saham lapis kedua dan lapis ketiga yang bergerak di sektor kesehatan, teknologi, dan bank-bank digital.
Baca Juga: Saham Big Caps Bakal Lebih Moncer di Akhir Tahun Investor melihat prospek yang cerah pada saham-saham yang berkaitan dengan teknologi dan digital di tengah pandemi yang masih membanyangi. Selain itu, penguatan saham-saham lapis kedua dan lapis ketiga juga terdorong jumlah investor ritel yang meningkat pesat selama pandemi. Di samping itu, investor asing yang biasa membidik saham-saham berkapitalisasi besar cenderung
wait and see mempertimbangkan situasi pandemi Covid-19. Adapun rotasi ke saham-saham likuid berukuran jumbo terpicu momentum window dressing menjelang akhir tahun. Saham likuid big caps juga semakin menarik seiring potensi pemulihan ekonomi di tahun depan. January Effect, pembagian dividen, dan rilis laporan keuangan di awal tahun 2022 nanti akan menjadi faktor pendorong lainnya. Mengingat kinerja emiten-semiten sepanjang 2021 diproyeksi akan lebih baik dibandingkan tahun 2020. "Big caps likuid akan lebih terapresiasi," jelas Nafan kepada Kontan.co.id, Minggu (14/11). Walau begitu, Nafan tidak memungkiri akan ada saatnya saham-saham lapis kedua dan lapis ketiga kembali dilirik tahun depan. Biasanya kondisi ini dimulai ketika terjadi outflaw pada saham-saham big caps. Hanya saja, ia belum dapat memastikan seberapa tinggi kenaikan yang akan dialami saham-saham tersebut.
Menurutnya, saham-saham lapis kedua dan ketiga akan menguat kembali apabila emiten mampu menjalankan Good Corporate Governance (GCG) dan mengkomunikasikannya ke publik dengan baik. Di samping itu, mampu menerapkan strategi untuk terus menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi ke depan. Aturan baru dari
stakeholder juga dapat mempengaruhi pergerakan harga ke depan. Ia mencontohkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah mengeluarkan aturan untuk bank-bank digital.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi