Ada Potensi Resesi Ekonomi Global, Komoditas Tambang Bisa Terpengaruh?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri tambang dihadapkan pada bayang-bayang resesi ekonomi. Presiden World Bank Group, David Malpass menyebutkan bahwa langkah menaikkan suku bunga yang telah diambil bank sentral di dunia berpotensi berlanjut di tahun 2023 dan bisa memunculkan resesi di banyak negara.

Entah berhubungan atau tidak, permintaan sejumlah komoditas tambang dikabarkan melemah. Misalnya saja timah. Dalam wawancaranya dengan Kontan.co.id sebelumnya, Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) mengatakan bahwa permintaan timah menurun karena dipengaruhi sejumlah sentimen ketidakpastian resesi global dan anjloknya pasar modal. 

“Sangat turun demand-nya timah. Lagi susah jual. Bulan lalu para member AETI ada yang complain mereka susah jual barang mereka,” jelas Sekjen Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), Jabin Sufianto kepada Kontan.co.id, Selasa (4/10).


Baca Juga: Sebelum Stop Ekspor Timah, Pelaku Usaha Butuh Peta Jalan Hilirisasi yang Realistis

Pelemahan permintaan juga terjadi pada komoditas tambang lainnya. Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy K. Lengkey mengonfirmasi adanya penurunan permintaan nikel tanpa merinci detail informasi pelemahan tersebut.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia menuturkan bahwa permintaan batubara dari Tiongkok melemah dalam beberapa bulan terakhir, menurut sepengetahuannya. Meski begitu, ia menilai naik turunnya pasokan dan permintaan merupakan hal yang biasa.

“Volatilitas supply dan demand dalam komoditas itu hal yang biasa,” tuturnya saya dihubungi Kontan.co.id (4/10).

Di sisi lain, harga sejumlah komoditas tambang melemah pada Senin (3/10). Data Trading Economics menjabarkan, harga batubara menyusut 12,8% dalam sebulan terakhir ke angka US$ 399 per metrik ton pada Senin (3/10).  Penurunan harga juga dijumpai pada komoditas nikel, namun dengan angka penurunan yang lebih mini. Tercatat, harga nikel turun tipis 1,32% dalam sebulan terakhir menjadi US$ 21.141,50 per ton pada Senin (3/10).

Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menafsirkan pergerakan harga tersebut sebagai indikator awal terjadinya koreksi pada harga kedua komoditas tersebut.

“Indikator Baltic Dry Index yang mengukur pengiriman kargo internasional juga tercatat menurun 66% dibanding posisi tahun lalu. Artinya ada perlambatan manufaktur,” imbuh Bhima saat dihubungi Kontan.co.id (4/10).

Baca Juga: Permintaan Turun, AETI Sulit Jual Timah di Pasar Internasional

Menyoal proyeksi ke depan,  Bhima menilai bahwa ancaman resesi ekonomi yang makin nyata, terutama di negara industri seperti zona Eropa, membuat permintaan barang tambang menurun. Menurut perkiraan Bhima, fenomena boom harga komoditas sendiri berpotensi mulai berakhir paling lambat pada pertengahan 2023 mendatang. 

Senada, Head of Industry and Regional Research Bank Mandiri, Dendi Ramdani, juga berpandangan bahwa harga komoditas tambang bisa terkoreksi ke depannya lantaran pergerakannya yang sudah terlalu tinggi. Selain itu, potensi koreksi harga komoditas tambang menurut Dendi juga dipengaruhi beberapa faktor pendorong lain, yaitu  kontraksi moneter dan  ekspektasi resesi global.

Meski begitu, Dendi memperkirakan bahwa harga komoditas tambang masih akan relatif tinggi dan hanya terkoreksi tipis.

“Alasannya, support dari perang Rusia vs Ukraina masih akan terjadi,  sehingga supply masih belum lancar seperti supply gas dan minyak dari Rusia,” tandas Dendi saat dihubungi Kontan.co.id (4/10).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .