KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Investor diminta untuk tidak mengambil tindakan gegabah dalam menyikapi kondisi pasar reksadana saat ini. Meskipun saat ini tengah terjadi beberapa masalah pada bisnis reksandana, namun secara industri kinerja instrumen investasi tersebut masih positif.
Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana menjelaskan, secara industri kinerja reksadana Tanah Air cukup positif dan tidak memiliki masalah apalagi likuiditas. Bahkan per Oktober 2019 total dana kelolaan berhasil menembus rekor baru sekitar Rp 540 triliun.
Baca Juga: OJK bubarkan 6 produk reksadana Minna Padi, ini dampaknya ke IHSG Meskipun begitu, Wawan mengakui dari sekitar 330 reksadana yang ada saat ini terdapat sekitar 10% reksadana yang terkesan anomali. Arti anomali di sini maksudnya, beberapa reksadana menawarkan return atau imbal hasil di luar batas wajar. Alhasil, ketika terjadi penurunan di pasar, returnnya pun bisa melorot di bawah 40%. Padahal, Wawan menegaskan untuk penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang year to date (ytd) 2019 baru berkisar 1%. Sehingga, untuk reksadana saham yang beroperasi sesuai dengan ketentuannya, penurunan yang terjadi tidak akan jauh dari pergerakan indeks. "Ada beberapa reksadana saham, sekitar 10% dari total atau 35-40 reksadana. Memang ada beberapa reksadana yang Manajemen Investasinya (MI) mungkin sangat tidak prudent dan mencari potensi imbal hasil paling tinggi," ujar Wawan kepada Kontan, Senin (25/11). Menurutnya, resksadana saham anomali muncul lantaran MI telah mengesampingkan faktor risiko yang ada. Umumnya, mereka masuk ke saham-saham second liner atau bahkan third liner, sehingga saat terjadi penurunan signifikan manajemen akan mengalami kerugian cukup dalam.
Baca Juga: Tahun 2020, investasi asuransi jiwa diramal tumbuh 7% Untuk itu, investor diminta untuk kembali ke tujuan awal berinvestasi. Umumnya investor yang masuk reksadana saham memiliki tujuan berinvestasi jangka panjang atau hingga 5 tahun. Sedangkan untuk jangka pendek bisa masuk ke reksadana pasar uang. Sehingga, keputusan untuk redeem pun diharapkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Wawan juga menekankan bahwa diversifikasi perlu dilakukan, terlebih saat kondisi makro ekonomi tahun ini dan tahun depan lebih mengacu ke prospek reksadana berbasis obligasi, ketimbang saham.
"Intinya investor jangan melakukan panic selling, harus sesuai peruntukkanya. Investor juga bisa melakukan switching, misal dari pasar uang ke pendepatan tetap, sesuai profil risiko masing-masing," jelasnya.
Baca Juga: OJK Bubarkan Reksadana Minna Padi, Investor Tidak Bisa Menarik Dana premium Di sisi lain, MI tidak berhak untuk mempengaruhi investor atau bahkan menolak investor yang ingin melakukan redeem. MI baru berhak menolak jika total permintaan redeem dalam sehari sudah melampaui 20% dari total dana kelolaan, itu pun sekedar pembatasan dan sudah bisa diproses di hari berikutnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Azis Husaini