Setelah tahun 2013 silam tumbuh tinggi, dua tahun belakangan pasar properti kita dalam tahap mencari titik keseimbangan baru. Makanya harga properti yang tinggi lantas terkoreksi. Semula, pelaku industri meyakini akhir tahun 2017 titik keseimbangan baru itu bakal tercapai. Namun, perjalanan industri properti tahun lalu mendapatkan sentimen negatif dari isu politik serta isu suku, ras, agama dan antargolongan (SARA) di DKI Jakarta. Sentimen tersebut berdampak secara nasional dan mempengaruhi psikologis pasar. Akibatnya investor memilih wait and see ketimbang membelanjakan duit. Padahal sebenarnya kelas menengah dan atas sudah siap berinvestasi. Lihat saja dana repatriasi sekitar Rp 50 triliun itu mengendap di perbankan nasional. Jadi, kalau kita lihat daya beli besar sekali pada tahun 2018 ini
Ada risiko tahun politik
Setelah tahun 2013 silam tumbuh tinggi, dua tahun belakangan pasar properti kita dalam tahap mencari titik keseimbangan baru. Makanya harga properti yang tinggi lantas terkoreksi. Semula, pelaku industri meyakini akhir tahun 2017 titik keseimbangan baru itu bakal tercapai. Namun, perjalanan industri properti tahun lalu mendapatkan sentimen negatif dari isu politik serta isu suku, ras, agama dan antargolongan (SARA) di DKI Jakarta. Sentimen tersebut berdampak secara nasional dan mempengaruhi psikologis pasar. Akibatnya investor memilih wait and see ketimbang membelanjakan duit. Padahal sebenarnya kelas menengah dan atas sudah siap berinvestasi. Lihat saja dana repatriasi sekitar Rp 50 triliun itu mengendap di perbankan nasional. Jadi, kalau kita lihat daya beli besar sekali pada tahun 2018 ini