KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Dana Moneter Internasional (IMF) melihat telah muncul tanda-tanda pemulihan ekonomi global yang lebih kuat. Namun, di saat yang sama, lembaga ini mengingatkan bahwa risiko ekonomi juga masih besar, termasuk munculnya mutasi virus Covid-19. Dengan adanya tanda-tanda tersebut, IMF akan memperbaharui perkiraan pertumbuhan global pada awal April mendatang, dari perkiraan terakhir di Januari lalu sebesar 5,5%. Seperti dikutip
Reuters, Minggu (21/3), Wakil Direktur Pelaksana Pertama IMF Geoffrey Okamoto mengatakan, proyeksi baru pertumbuhan ekonomi global tersebut akan mencerminkan pengeluaran stimulus fiskal tambahan di Amerika Serikat (AS). Namun, ia tidak menjabarkan lebih detail.
Dalam pidatonya di China Development Forum, Okamoto menyuarakan keprihatinan tentang pertumbuhan divergensi antara negara maju dan pasar berkembang, dengan sekitar 90 juta orang terlihat jatuh ke bawah ambang kemiskinan ekstrem sejak pandemi dimulai.
Baca Juga: Janet Yellen telepon Sri Mulyani, isyaratkan niat memperdalam kerja sama AS-Indonesia IMF melihat ekonomi China telah pulih ke tingkat pertumbuhan sebelum pandemi dan terdepan dari semua negara besar. Namun, konsumsi swasta masih tertinggal dari investasi di sana. Sementara di luar China, kata Okamoto, muncul tanda-tanda mengkhawatirkan akan melebarnya kesenjangan antara negara maju dan pasar negara berkembang. IMF memproyeksikan, pendapatan kumulatif per kapita di negara-negara berkembang, tidak termasuk China, antara tahun 2020 dan 2022 akan menjadi 22% lebih rendah daripada jika tidak terjadi pandemi. "Ini yang akan mendorong lebih banyak orang ke dalam kemiskinan," kata Okamoto. Sehingga secara keseluruhan, IMF melihat prospek ekonomi dunia masih dalam ketidakpastian dan sulit untuk diproyeksikan. Okamoto bilang, belum jelas berapa lama pandemi akan berlangsung. Sedangkan akses terhadap vaksin juga sangat tidak merata, baik di negara maju maupun berkembang. Beberapa negara juga hanya memiliki sedikit ruang untuk meningkatkan pengeluaran untuk memerangi pandemi dan mengurangi dampak ekonominya, terutama negara berpenghasilan rendah dengan tingkat utang yang tinggi. Okamoto mengatakan, kondisi keuangan yang lebih ketat dapat memperburuk kerentanan di negara-negara dengan hutang publik dan swasta yang tinggi, mengingat adanya kenaikan imbal hasil obligasi baru-baru ini yang dipicu oleh ekspektasi pasar akan penarikan stimulus moneter sebelumnya. Dia mengatakan, krisis juga bisa meninggalkan luka yang dalam. Di masa lalu, negara-negara maju telah melihat output mereka berkurang hampir 5% di bawah tren pra-resesi lima tahun setelah dimulainya resesi, dan bisa lebih buruk lagi di negara-negara yang tidak mampu memberikan respons makro ekonomi yang kuat dan memiliki sektor jasa yang sangat besar terdampak pandemi.
Sementara Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan atau Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) sebelumnya optimistis perekonomian dunia bisa meroket di tahun 2021. OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini bisa berada di 5,6% yoy. Prediksi ini lebih tinggi lebih dari 1% atau 100 bps dari perkiraan di akhir tahun lalu yang sebesar 4,2%. OECD menyebut prospek meningkat seiring dengan tanda aktivitas perdagangan yang meningkat dan kegiatan industri manufaktur yang mulai ekspansi sejak Desember 2020. OECD juga melihat, aktivitas banyak sektor sudah mulai meningkat dan bahkan sudah bisa beradaptasi dengan pembatasan aktivitas yang diterapkan di seluruh dunia. Kemudian, ada vaksinasi yang akan meningkatkan momentum pemulihan. Tak lupa, pemerintah juga telah memberikan stimulus, terutama di Amerika Serikat (AS), yang bisa meningkatkan aktivitas ekonomi. Meski begitu, prospek pemulihan ekonomi di banyak negara dan banyak sektor berbeda. Seberapa cepatnya akan sangat bergantung terhadap progres vaksinasi. Bila program vaksinasi tidak secepat itu dan bahkan terbukti tidak mempan untuk menahan laju virus juga mutasi virus ini, maka dunia perlu mengubah vaksin saat ini.
Editor: Khomarul Hidayat