JAKARTA. Rancangan Undang Undang (RUU) Pertembakauan yang tengah digodok Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dianggap lebih pro-industri rokok memang jelas terlihat. Tengok saja isinya. Contoh, Pasal 26 RUU ini menyebutkan, setiap kemasan produk tembakau hanya wajib mencantumkan label mengenai kadar kandungan tar dan nikotin, peringatan kesehatan berupa kesehatan, dan kode produksi. Tidak ada keharusan memasang gambar-gambar seram pada kemasan rokok seperti perintah UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Aturan main ini sudah berjalan mulai 24 Juni 2014 lalu. Kartono Muhammad, Ketua Dewan Pembinan Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau, mengatakan, konten RUU Pertembakauan lebih banyak mengatur industri rokok ketimbang perlindungan petani tembakau dan ekses negatif dari rokok. Intinya, RUU ini ingin melindungi dan menyelamatkan industri rokok.
Tak hanya itu, RUU Pertembakauan bukanlah suatu aturan urgen, tapi tetap saja mendapat perlakuan istimewa dari DPR. Soalnya, tembakau bukan komoditas yang penting untuk diatur. Lalu, DPR mengirim surat ke Presiden SBY agar menghentikan pembahasan ratifikasi FCTC. Jadi, “Patut dipertanyakan pembentukan Pansus RUU Pertembakauan. Kesan ada titipan dari industri rokok sangat kental,” ujar Kartono. Ismanu Soemiran, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), membantah keras tudingan Kartono itu. Cuma, dia mendukung semua kebijakan pengendalian tembakau termasuk RUU Pertembakauan. Asalkan, muatannya bukan rekayasa kekuatan asing yang ingin menguasai ekonomi nasional, khususnya industri rokok kretek. Industri rokok kretek nasional, Ismanu menjelaskan, harus berdaulat. Pertama, berdaulat secara politik. Maksudnya, industri rokok kretek merupakan industri yang legal sejak negara kita belum merdeka. Ketika masa penjajahan Belanda, ada Ordonansi Cukai Tembakau (Staatsblad 1932 No. 517). “Dengan demikian, industri kretek bukan industri yang tidak mau diatur,” kata Ismanu. Kedua, berdaulat secara ekonomi. Industri kretek tidak pernah merengek-rengek minta bantuan ke pemerintah, bahkan sebaliknya memberi pemasukan cukai yang nilainya mencapai Rp 100 triliun lebih. Ketiga, berdaulat secara kebudayaan. Di dunia, industri rokok kretek hanya ada di Indonesia sebagai kreasi anak bangsa dan kearifan lokal. Alhasil, seperti batik, rokok kretek harus dilestarikan. Jadi, “Jangan biarkan ada pihak yang ingin merusak tiga pilar nasionalisme tersebut,” pinta Ismanu. Elvira Lianita, Head of Regulatory Affairs, International Trade, and Communication PT HM Sampoerna Tbk, berharap kelahiran peraturan industri tembakau yang efektif berdasar pada bukti ilmiah dan bisa ditegakkan, sehingga mampu mendukung tujuan-tujuan pemerintah. Tapi, “Pada saat yang sama turut melindungi mata pencaharian jutaan rakyat Indonesia, termasuk di dalamnya para pekerja pabrikan rokok, petani, dan pedagang produk tembakau,” ujar dia. Pastinya, juga bisa menjamin keberlangsungan industri tembakau. Nurtanto Wisnubrata, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), berharap pemerintah dan DPR mampu membuat regulasi yang komprehensif dan bisa mengakomodasi banyak kepentingan. Artinya, tidak hanya melihat dari aspek kesehatan, melainkan perlu mempertimbangkan perlindungan atas petani tembakau dan industri rokok nasional. Sebab, bicara soal tembakau, di dalamnya ada aspek budidaya, sosial budaya, ekonomi hingga tenaga kerja. Secara nasional, jumlah petani dan buruh tani tembakau kita mencapai 2,1 juta orang, petani cengkeh 1,5 juta orang, dan buruh industri rokok 600.000 orang. Namun, Organisasi Buruh Dunia (ILO) mencatat, industri tembakau Indonesia menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 6 juta orang. Makanya, dalam pembahasan RUU Pertembakauan, sebaikanya pemerintah dan DPR melibatkan pihak yang pro maupun yang kontra dan menampung aspirasinya. Sehingga, mampu menghasilkan kebijakan yang lebih sempurna dari sebelumnya. Jangan sampai seperti PP No. 81/1999 yang sarat kepentingan asing untuk menguasai tembakau Indonesia lewat standardisasi yang tinggi.
Oleh karena itu, Nurtanto mendesak pemerintah tidak mengadopsi aturan internasional dengan meratifikasi FCTC. Maklum, kondisi Indonesia dari sisi budaya, ekonomi, dan tenaga kerja berbeda dengan negara-negara yang sudah meratifikasi konvensi pengendalian tembakau itu. “Ratifikasi FCTC adalah pintu kematian bagi petani dan industri tembakau lokal,” kata Nurtanto. Tapi, bukan berarti APTI menolak pengendalian tembakau untuk melindungi mayarakat dari bahaya rokok, lo. Cuma aturan yang dibuat seyogianya lebih mengarah ke kaidah etika-moral. Ambil contoh, larangan merokok di tempat umum dan bagi anak di bawah usia 18 tahun, serta pembatasan iklan rokok di media massa. Meski begitu, Nita Yudi, Ketua Wanita Indonesia Tanpa Tembakau, tidak bisa mentoleransi apapun soal tembakau lantaran manfaatnya tidak sebanding dengan risiko yang diakibatkan rokok. “Soal isu warisan budaya, ekonomi, kontribusi terhadap pendapatan negara dari cukai rokok, sampai ancaman hilangnya lapangan pekerjaan akibat pembatasan produk tembakau, hanya upaya dari pihak industri tembakau untuk mempertahankan kelangsungan bisnis mereka semata,” tegas Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia ini. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dadan M. Ramdan