KONTAN.CO.ID - JAKARTA. RUU Kesehatan yang saat ini sudah disahkan sebagai inisiatif DPR RI terus menuai polemik di masyarakat. Salah satunya adalah tentang Revisi UU BPJS di RUU Kesehatan. Pasal 7 ayat (2) UU BPJS yang mengamanatkan BPJS bertanggugjawab langsung ke Presiden akan direvisi di RUU Kesehatan dengan ketentuan yaitu BPJS bertanggugjawab kepada Presiden melalui Menteri. Ketentuan ini didukung oleh Pasal 13 ayat (2) huruf a RUU Kesehatan yang menyatakan BPJS melaksanakan penugasan dari kementerian Kesehatan. Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai ketentuan di RUU Kesehatan ini akan menurunkan kewenangan BPJS seperti Direksi dan Dewan Pengawas BPJS.
Baca Juga: Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan Naik Drastis, APBN Terbebani "Program JKN yang merupakan amanat konstitusi tidak bisa dilaksanakan sendiri oleh BPJS Kesehatan, namun perlu dukungan dari Kemneterian/Lembaga lainnya," kata Timboel, Jumat (24/2). Hadirnya Instruksi Presiden (Inpres) No 1 tahun 2022 tentang optimalisasi Pelaksanaan program JKN yang melibatkan 30 K/L dan Pemda memposisikan BPJS memang harus bertanggungjawab langsung ke Presiden. Sehingga pelaksanaan program JKN memiliki
check and balanced system antara BPJS dan 30 K/L. "Bila BPJS di bawah Menkes maka program JKN akan terancam tidak berjalan dengan baik, yang dampaknya langsung kepada masyarakat," tutur Timboel. Menurutnya dengan pasal-pasal tersebut maka Menteri Kesehatan berpotensi akan mengintervensi kerja-kerja BPJS. Ia juga khawatir, BPJS akan melaksanakan tugas-tugas Kemenkes dengan menggunakan dana masyarakat yang dikumpulkan sebagai iuran JKN. Misalnya, program Kesehatan yang bersifat Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) yang dilakukan Kemenkes dengan pembiayaan APBN seperti Gerakan masyarakat hidup sehat (Germas) bisa saja nanti diserahkan kepada Program JKN untuk membiayainya. Demikian juga dengan program Kemenkes lainnya. "Memposisikan tanggungjawab BPJS melalui Menteri Kesehatan merupakan celah untuk menyalahgunakan iuran JKN," ungkap Timboel. Menurutnya, KPK perlu menganalisa usulan revisi UU BPJS di RUU Kesehatan khususnya Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (2) huruf a. Sebab, kata Timboel, pasal-pasal ini berpotensi menjadi celah korupsi dana masyarakat yang dikumpulkan sebagai iuran JKN. Bila hal ini terjadi maka program JKN akan kembali berpotensi mengalami defisit karena penggunaan iuran masyarakat yang dikumpulkan di BPJS Kesehatan digunakan untuk kepentingan Kemenkes. Bila defisit maka akan berdampak langsung pada penurunan pelayanan kepada masyarakat. Mengingat, program JKN yang sudah memberikan banyak memberikan manfaat kepada rakyat Indonesia, walaupun masih ada persoalan di lapangan.
Baca Juga: Menkeu Sebut Realisasi Belanja Anggaran Kesehatan Tumbuh 12% pada Bulan Lalu Seharusnya, BPJS ditingkatkan kewenangannya sehingga kendala-kendala yang dihadapi di lapangan terkait pelaksanaan Inpres oleh K/L dan Pemda dapat segera dicarikan solusinya.
Presiden harus mendukung kerja-kerja BPJS Kesehatan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Menurutnya, saat ini masih ada K/L yang tidak serius mendukung JKN "Presiden harus mengevaluasi K/L tersebut. Peningkatan kualitas Program JKN harus didukung oleh peningkatan kewenangan BPJS," tutur Timboel. "BPJS yang merupakan badan hukum public yang mengelola dana masyarakat, harus diposisikan tetap bertanggungjawab langsung kepada Presiden tanpa melalui Menteri," tambah Timboel. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi