Ada Wacana Pertamax Disubsidi, Bagaimana Nasib Pertalite?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mengkaji wacana subsidi untuk penggunaan Pertamax di tengah ramainya isu polusi udara. Perlahan tapi pasti, wacana ini sudah mulai dikaji, setidaknya di kalangan internal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kalau jadi direalisasi, bukan tidak mungkin kebijakan ini bermuara pada penghapusan Pertalite. 

Namun, kebijakan ini bukannya tanpa kritik. Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS, Mulyanto, meminta agar pemerintah mengkaji rencana pemberian subsidi terhadap Pertamax secara cermat.

Hal ini, menurutnya, berpotensi mendorong masyarakat untuk merogoh kocek lebih tinggi dalam membeli BBM. Sebab, kebijakan ini bisa saja diikuti dengan penghapusan Pertalite, sementara harga Pertamax yang disubsidi belum tentu bisa menjadi lebih murah dibanding harga Pertalite saat ini.


“Berapa nanti harga pertamax subsidi itu? Apakah sama dengan harga Pertalite eksisting? Dugaan saya lebih mahal.  Sementara tak ada opsi lain, selain pertamax tersebut,” ujarnya kepada Kontan.co.id (27/8).

Baca Juga: Penggunaan BBM Oktan Tinggi Jadi Salah Satu Solusi Turunkan Emisi Sektor Transportasi

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, berpandangan bahwa opsi untuk memperbesar subsidi bagi transportasi publik dengan disertai penambahan moda transportasi dari kawasan pemukiman atau feeder. merupakan opsi kebijakan yang  lebih tepat untuk menurunkan polusi udara.

Dengan begitu, penggunaan kendaraan pribadi akan turun signifikan ketika dari rumah menuju tempat kerja full menggunakan transportasi publik. Sementara itu, upaya pemerintah untuk mendorong agar masyarakat bergeser ke pertamax lewat subsidi Pertamax dan penghapusan Pertalite menurut Bhima cenderung bias kelas sekaligus tidak menyelesaikan masalah polusi. 

“Bias kelas karena orang miskin akan keluarkan biaya lebih besar untuk membeli BBM. Meski disubsidi, harga Pertamax tetap tidak mungkin setara BBM Pertalite,” terangnya kepada Kontan.co.id, Senin (28/8).

“Emisi yang dihasilkan dari kendaraan bermotor akan tetap tinggi selagi jumlah kendaraan bermotornya naik terus tiap tahun,” imbuhnya lagi.

Senada, Ekonom Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, juga menilai bahwa pemberian subsidi pada Pertamax bukan solusi yang tepat untuk menurunkan emisi. Sebaliknya, kebijakan tersebut justru bisa menimbulkan masalah baru.

“Meskipun nantinya Pertalite dihapus, kemudian Pertamax disubsidi, ini kan akan memanjakan masyarakat untuk terus menggunakan dan mengkonsumsi BBM secara eksesif karena harganya lebih murah. Jadi ini akan mendorong masyarakat untuk tetap menggunakan transportasi atau kendaraan pribadi,” kata Abra kepada Kontan.co.id (28/8).

Alih-alih mensubsidi Pertamax, Abra menilai bahwa pemerintah sebaiknya segera menerapkan mekanisme subsidi tertutup dalam penyaluran Pertalite. Dengan begitu, anggaran kompensasi untuk penggunaan Pertalite tidak membengkak dan tepat sasaran, sedang anggaran yang dihemat bisa digunakan untuk memperbesar subsidi transportasi publik.

“Dengan adanya penghematan realisasi Pertalite, bisa ada ruang tambahan buat realokasi anggaran kompensasi Pertalite untuk menambah subsidi transportasi publik,” tutur Abra.

Baca Juga: Tekan Polusi, Pemerintah Bakal Mengalirkan Subsidi ke Pertamax?

Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPP Hiswana Migas, Syarif Hidayat, mengatakan bahwa Hiswana pada prinsipnya siap mengikuti keputusan pemerintah.

“Kami kan hanya penjual, kami ikut keputusan Pemerintah, apalagi kalau kebijakan tersebut punya tujuan positif,” ujarnya saat dihubungi Kontan.co.id (28/8).

Belum ketahuan skema kebijakan yang disiapkan dan dikaji oleh pemerintah dalam wacana pemberian subsidi pada Pertamax. Pihak Kementerian ESDM masih irit bicara ketika ditanyai soal hal ini.

“Ditunggu ya, karena ada sidang kabinet hari ini,” ujarnya saat dikonfirmasi mengenai isu polusi dan perkembangan subsidi Pertamax di Gedung Kementerian ESDM, Senin (28/8).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi