KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten tambang, PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) terus mengembangkan diversifikasi bisnis non-batubara untuk menyeimbangkan pendapatan perusahaan. Emiten yang terafiliasi dengan Garibaldi 'Boy' Thohir ini menargetkan 50% dari total pendapatan disumbang oleh bisnis non-batubara.
Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), Febriati Nadira mengatakan, dalam peralihan menuju energi hijau, Adaro tetap berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan energi saat ini sambil terus mempersiapkan transisi menuju operasi yang lebih berkelanjutan. "Untuk itu kami memastikan bahwa kegiatan operasional dapat berjalan dengan baik dengan terus fokus terhadap keunggulan operasional dan efisiensi biaya, sehingga dapat menghasilkan margin dan arus kas yang sehat," kata Febriati kepada Kontan, Kamis (4/7).
Menurut Febriati, prospek bisnis energi hijau ke depan luar biasa, namun tentunya investasi di bisnis hijau memerlukan waktu dan proses yang tidak sebentar. "Harapannya, pada tahun 2030, 50% dari total pendapatan Adaro akan dihasilkan oleh bisnis non batubara termal, sejalan dengan komitmen kami dalam pernyataan NZE yang telah kami publikasikan di tahun 2023," tutur Febriati.
Baca Juga: Harga Komoditas Masih Lemah, Saham Emiten Batubara Merana Febriati menambahkan, target ini akan dicapai dengan meningkatkan bisnis di bidang-bidang yang mendukung ekosistem ekonomi hijau di Indonesia, antara lain melalui pembangunan
smelter aluminium, memperluas pasar batu bara metalurgi, menjajaki peluang dalam berbagai produk mineral hijau, dan mengembangkan bisnis energi terbarukan. Kalau berhasil dilakukan, lanjut Febriati, hal ini akan memungkinkan ADRO untuk mempercepat proses transformasi bisnis melalui inisiatif ramah lingkungan dalam jangka panjang, salah satunya melalui hilirisasi pengolahan mineral sejalan dengan rencana pemerintah RI. Sejak tahun 2022, Adaro telah mulai melakukan pengembangan bisnis secara berkelanjutan dengan bertransformasi dari 8 pilar menjadi 3 pilar bisnis; Adaro Energy, Adaro Minerals, dan Adaro Green. Perseroan juga telah mulai menjalankan proyek bisnis nonbatubara. Di tahun 2018, ADRO membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sistem rooftop atau atap dengan kapasitas 130 kWp di Kelanis, Kalimantan Tengah, untuk melayani kebutuhan listrik di area tambang Adaro. "Setelah berhasil dalam pembangunan dan pengoperasian PLTS atap 130 kWp, kami melakukan pengembangan dengan menambahkan kapasitas 468 kWp PLTS dengan sistem terapung (
floating)," ujar Febriati. Selain itu, Adaro turut mendukung inisiatif hilirisasi pemerintah dalam industri hijau dengan membangun aluminium smelter di Kawasan Industri Hijau Indonesia yang terbesar di dunia. Hingga saat ini konstruksi smelter aluminium dan infrastruktur terkait berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan perseroan menargtkan untuk merampungkan tahap I sebesar 500.000 ton per tahun pada tahun 2025. Berikutnya, Pilar Adaro Green melalui PT Adaro Clean Energy Indonesia menandatangani nota kesepahaman pengembangan energi terbarukan (EBT) serta rantai pasok Solar Photovoltaic (PV) dan Sistem Penyimpanan Energi Baterai (SPEB) di Indonesia dengan beberapa pabrikan manufaktur PV dan baterai (OEM/Original Equipment Manufacturer).
Untuk PLTA Mentarang Induk berkapasitas 1375 MW rencananya akan beroperasi di tahun 2030 dan menyediakan energi hijau untuk kawasan industri hijau di Kalimantan Utara. "Konstruksi pembangkit listrik tenaga air yang sedang kami kerjakan berjalan dengan baik," tutur Febriati. Terakhir, Adaro bersama Total Eren, dan PJBI, menandatangani perjanjian jual beli listrik untuk proyek PLTB Tanah Laut berkapasitas 70 MW yang dilengkapi dengan sistem penyimpanan energi baterai sebesar 10 MW / 10 MWh di Tanah Laut, Kalimantan Selatan dengan PT PLN Persero (PLN) demi mendukung program Pemerintah dalam mencapai target bauran sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia. Estimasi Commercial Operation Date (COD) PLTB Tanah Laut di tahun 2025. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Putri Werdiningsih