Adaro Energy ingin pasok semua kebutuhan kokas domestik



KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Berambisi menjadi salah satu pemain besar batubara dunia, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) melakukan diversifikasi ke coking coal (kokas) tujuh tahun belakangan ini. “Margin harganya lebih bagus kokas ketimbang thermal coal,” kata Garibaldi Thohir, Direktur Utama Adaro Energy di kantor anak perusahaan Adaro, Coaltrade Services International Pte Ltd, Shenton Way, Singapura, Sabtu (27/4).

Selain itu, menurut Garibaldi, prospek Indonesia sebagai pasar kokas terbilang cerah, karena ingin beralih menjadi negara industri. Alhasil, kebutuhan baja pasti meningkat, dengan demikian mendongkrak permintaan kokas. Berbeda dengan thermal coal yang dijadikan bahan bakar, kokas merupakan salah satu bahan baku pembuatan baja.

Setiap tahun, kebutuhan coking coal (kokas) Indonesia sekitar 6 juta-7 juta ton. Permintaan kokas datang dari Krakatau Posco. “Sampai kini, kebanyakan pasokan kokas masih impor dari Australia,” ujar Boy, panggilan Garibaldi. Melalui tambang di Kalimantan Tengah, yang mereka beli sedikit demi sedikit dari BHP Billiton, Adaro memasok 1 juta kokas setiap tahun.


Adapun bulan lalu, Adaro bersama dengan EMR membeli 80% saham Rio Tinto di tambang kokas Krestel, yang berlokasi di Bowen, Queensland, Australia. Dalam transaksi senilai US$ 2,25 miliar ini, menurut Boy, porsi kepemilikan Adaro adalah 49%. Tambang Krestel saban tahun memproduksi 5,5 juta ton kokas.

Lebih lanjut Boy mengatakan bahwa Adaro merupakan satu-satunya pebisnis batubara Indonesia yang menambang kokas. “Ini memang bisnis yang baru bagi kami. Tambangnya di Indonesia, baru ditemukan di Kalimantan Tengah,” kata dia. Sampai kini, total investasi Adaro untuk menggarap kokas berkisar US$ 3 miliar. “Itu termasuk pembelian ke BHP Billiton dulu dan pembangunan infrastruktur untuk tambang Kalimantan Tengah,” sambungnya.

Alasan lain Adaro fokus di bisnis kokas, menurut Boy, karena ini peluang untuk menjadi pemain batubara besar di dunia. “Kalau batubara thermal kan pemainnya sangat banyak dan besar-besar,” ujarnya. Sedangkan pebisnis kokas terbesar, saat ini, adalah BHP Billiton dengan produksi sekitar 30 juta ton dan memasok 40% kebutuhan dunia. Boy ingin perusahaannya bisa memproduksi 15 juta ton kokas pada beberapa tahun ke depan, sehingga dapat diperhitungkan menjadi pemain besar batubara dunia.

Kantor perdagangan

Pemasaran kokas sedikit berbeda dengan thermal coal, karena biasanya konsumen meminta campuran batubara, dari beberapa perusahan tambang, dengan komposisi tertentu. Di sinilah, menurut Pepen Handianto Danuatmadja, Direktur Coaltrade Service, perusahaannya berperan. “Berbeda dengan perdagangan thermal coal yang biasanya konsumen membeli langsung ke perusahaan tambang, penjualan kokas ini berbeda,” jelas Pepen.

Adaro mendirikan Coaltrade Service sejak tahun 2000. Menurut Pepen, pertumbuhan penjualan mereka berkisar 10%-20% dengan konsumen di antaranya Tata Steel dan Arcelor Mittal. Mereka mulai menjual kokas tahun lalu. “Tahun mendatang penjualan kami pasti meningkat karena karakteristik kokas ini,” kata dia.

Pepen cukup optimis dengan bisnis kokas Adaro ini. Pasalnya, selain pelaku bisnis yang tidak banyak, kokas tidak dihantui isu lingkungan seperti batubara thermal. “Karena kokas untuk bahan baku, bukan bahan bakar,” ujarnya.

Tahun lalu, penjualan lewat Coaltrade tercatat 4,5 juta ton, dari total penjualan Adaro yang sebesar 51,8 juta ton. “Tapi kantor ini penting untuk pemasaran kokas,” ujar Boy.

Selain pemainnya tidak banyak, harga jual kokas lebih mahal ketimbang thermal coal. Neil Little, GM International Marketing and Trade Coaltrade Services mengatakan harga kokas berkisa US$ 180 per metrik ton. Harga itu dua kali lipat harga thermal coal yang saat ini tercatat US$ 96 per metrik ton. Pasalnya, permintaan dan pasokan kokas cenderung berimbang. Pasar untuk kokas terbuka di Jepang dan India. “Tapi pasar terbesarnya di Eropa,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati