Adaro, tetap tegak berkat bisnis pembangkit



JAKARTA. Bisnis emiten produsen batubara tengah meredup. Tapi PT Adaro Energy Tbk (ADRO)  mempunyai strategi agar tetap eksis. Yakni, mengembangkan pembangkit listrik atawa power plant. ADRO membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tabalong, Kalimantan Selatan. 

PLTU ini dibangun PT Tanjung Power Indonesia Trans Power, perusahaan hasil joint venture antara PT Adaro Power dengan anak usaha Korea-West Power Co. Ltd, PT EWP Indonesia. ADRO memiliki 65% saham dan EWP menggenggam 35%. Trans Power bahkan telah menandatangani Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dengan PT PLN 15 Oktober 2014. Nilai investasi PLTU berkapasitas 2 X 100 megawatt (MW)  ini antara  US$ 450 juta-US$ 550 juta dan memakan waktu 33 bulan. 

Analis MNC Securities Reza Nugraha mengatakan, diversitifikasi bisnis ADRO berdampak positif, di tengah harga batubara yang masih lesu.  Bisnis PLTU ini berpotensi menaikkan pendapatan, karena produksi batubara ADRO bisa terserap sendiri. "Apalagi sudah jelas, pembelian listrik oleh PLN, jadi pasti akan menguntungkan," terang dia.  Selain itu, kebutuhan akan listrik di tempat terpencil sangat besar. Nanti, Trans Power memasok listrik ke PLN di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 25 tahun. 


Stefanus Darmagiri, Analis Danareksa Sekuritas, dalam riset 21 November 2014 menulis, ada dua PLTU yang akan dibangun ADRO dalam jangka menengah. Satu lagi di Jawa Tengah berkapasitas 2 X 1.000 MW. ADRO membentuk konsorsioum antara Adaro Daya dengan dengan J-Power dan Itochu Corporation. 

Dalam proyek ini Adaro Daya memiliki 34% saham, sedangkan J-Power dan Itochu Corporation memiliki masing-masing 34% dan 32% saham. Investasi PLTU ini US$ 4 miliar. Namun proyek ini belum sepenuhnya selesai, karena terganjal pembebasan lahan. Ia mencatat, hingga November 2014, pembebasan lahan baru terpenuhi 87%.  Stefanus berpendapat, kedua proyek PLTU bisa menyerap 8 juta ton batubara per tahun. Rinciannya ,PLTU Jawa Tengah 7 juta ton dan TPI 1 juta ton per tahun. 

Nah untuk mewujudkan PLTU tersebut manajemen ADRO mencari utang sindikasi US$ 400 juta dari perbankan Korea Selatan. Meski begitu, para analis menilai, utang ADRO masih wajar dibandingkan emiten batubara lainnya. 

Reza mencatat, saat ini debt to equity ratio (DER) di 1,2 kali. Namun ia menilai wajarnya perusahaan batubara memiliki DER di bawah satu kali. "Normalnya, sekitar 0,7 kali," ujar dia. Namun agaknya sulit terwujud, sebab ADRO tengah gencar ekspansi. 

Langkah tersebut harus dilakukan lantaran harga batubara terus terpuruk. "Kami memperkirakan harga batubara masih sideways dalam lima hingga enam bulan ke depan," kata Reza. Fajar bahkan memproyeksikan, harga batubara global menurun 7% menjadi US$ 71,8 per ton di 2014 dan US$ 69,4 per ton di tahun depan. 

Tapi Fajar yakin, laba ADRO bakal tumbuh jadi US$ 251 juta di 2014 dari US$ 231 juta di 2013. Dan kembali naik di tahun 2015 menjadi US$ 254 juta. Ini karena efisiensi.  Stefanus merekomendasikan buy di Rp 1.280. Fajar  menyarankan netral dan Reza hold di Rp 1.180. Kamis (27/11), harga ADRO turun 0,45% ke Rp 1.100.        

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia