Memang, nilai tukar rupiah sudah kembali ke bawah Rp 14.000 per dollar AS. Kurs tengah Bank Indonesia (BI) menunjukkan, kurs rupiah, Kamis (31/5), berada di posisi Rp 13.951, setelah selama dua pekan di kisaran Rp 14.000 per dollar AS. Tapi, tetap terbuka mata uang garuda kembali melemah ke level Rp 14.000 per dollar AS. Industri makanan dan minuman menjadi salah satu sektor yang paling merasakan dampak pelemahan tajam rupiah. Pengusaha makanan dan minuman pun putar otak untuk menekan efek nilai tukar rupiah yang anjlok. Mereka menyiasatinya dengan berbagai cara. Apa saja yang sudah dan akan pelaku usaha lakukan? Wartawan Tabloid KONTAN Lamgiat Siringoringo mewawancarai Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman, Rabu (30/5). Berikut nukilannya: KONTAN: Melihat rupiah yang melemah tajam hingga menembus Rp 14.000, apa yang pelaku usaha makanan dan minuman lakukan? ADHI: Dengan dollar AS yang sekarang makin tinggi dan kami masih tergantung dengan bahan baku impor, ada beberapa hal yang bisa kami lakukan. Pertama, melakukan efisiensi, ini adalah salah satu jalan keluar. Tapi, ini tidak usah diajarkan, pengusaha pasti melakukan efisiensi. Kedua, mencari alternatif bahan baku. Namun sayang, ini tidak bisa jangka pendek. Ketiga, dengan memikirkan daya beli masyarakat yang masih belum bagus, maka kami bisa mengurangi size (ukuran) produk. Contoh, awalnya satu produk ukuran 200 gram, maka dikurangi menjadi 180 gram. Yang penting, harganya tetap. Tetapi, cara inipun harus ada izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Keempat, ini upaya terakhir, yakni menaikkan harga jual. KONTAN: Untuk efisiensi, langkah apa saja yang bisa pelaku usaha lakukan? ADHI: Salah satunya: otomatisasi, karena upah pekerja naik terus tiap tahun padahal margin turun terus. Lalu, ada keluhan dari ritel juga, kalau biaya sewa gerai naik terus. Akibatnya, kan, menekan ke pemasok dan berdampak juga ke industri. Kami harus efisien, memotong mata rantai logistik, bisa tidak melalui lagi distributor. Termasuk juga efisiensi energi, mengganti yang lebih murah. KONTAN: Apakah bisa mengarah ke PHK massal? ADHI: Untuk sementara tidak ada laporan dari anggota yang mengarah ke sana. Tetapi, yang banyak saya dengar, memang margin itu diturunkan. KONTAN: Berapa potensi besarannya kalau sampai harus mengerek harga produk? ADHI: Karena pelemahan rupiah hingga di atas Rp 14.000 per dollar AS, maka pengaruh ke kenaikan harga pokok penjualan sekitar 3% hingga 7%. Tapi, untuk produk makanan dan minuman, kenaikan harga di atas 5% sangat terasa sekali bagi konsumen. Apalagi, saat ini menjelang Lebaran. Makanya, mungkin kami tidak akan menaikkan harga. Kami akan evaluasi kenaikan harga setelah Lebaran. Dengan harapan, dollar AS tidak terus naik. KONTAN: Jika terpaksa menaikkan harga, bukankah penjualan bisa turun? ADHI: Pasti akan terasa. Tapi biasanya, hanya dua sampai tiga bulan saja. Setelah itu akan kembali normal lagi. KONTAN: Kalau begitu, proyeksi penjualan hingga akhir tahun akan seperti apa? ADHI: Untuk pertumbuhan, kami perkirakan masih akan ada hingga akhir tahun. Saya masih yakin, pertumbuhannya 8%–9%. Namun dengan catatan, marginnya makin turun. KONTAN: Memang dengan kondisi rupiah saat ini, pengusaha masih kuat menopang kenaikan biaya produksi? ADHI: Untuk sekarang, memang sudah menggerus margin. Karena itu, kami akan melihat lagi setelah Lebaran. Untungnya, industri sudah mempunyai stok bahan baku untuk sebulan ke depan. Jadi, menjelang Lebaran banyak yang sudah memiliki stok yang disiapkan dari Maret lalu atau sebelum dollar AS naik tinggi. Sehingga, pelaku usaha masih ada napas. Ini memang belum ditimpa lagi dengan harga minyak mentah dunia yang naik terus. Kami harus hati-hati. Jadi, jika dollar AS naik sampai Rp 14.500, berarti depresiasi rupiah sekitar 10%. Kalau menggunakan bahan baku impor hingga 70%, maka kenaikan harga pokok berkisar 7%. Belum lagi, kemasan makanan dan minuman dalam plastik bisa 70% impor. Sisanya memakai kaleng, itupun masih impor. Kemasan kertas juga masih impor. KONTAN: Hitungan pengusaha, dari awal tahun rupiah ada di angka berapa? ADHI: Kami ingin rupiah stabil. Perencanaan industri memakai asumsi APBN 2018 sebesar Rp 13.600 per dollar AS. Itu sudah kami toleransi hingga Rp 14.000. Makanya kalau ditanya, sebenarnya kami bisa tahan hingga angka Rp 14.000. Sekarang sudah tembus Rp 14.000. Padahal kalau mau dilihat, transaksi riil kami sudah memakai angka Rp 14.500. Kami membayar bahan baku sudah di Rp 14.500. Karena, mereka, kan, juga tidak mau risiko. KONTAN: Perkiraan nilai tukar rupiah sampai akhir tahun nanti berapa? ADHI: Sudah sangat sulit bisa kembali ke bawah Rp 14.000. Jadi, kami sudah bersiap untuk dollar AS di kisaran Rp 14.000 hingga Rp 14.500. Apalagi, mendengar depresiasi mata uang Turki bisa sampai 20% terhadap dollar AS. Ini, kan, berbahaya jika situasi Turki memang merembet ke dalam negeri. KONTAN: Kembali ke impor bahan baku, memang apa saja yang pengusaha impor? ADHI: Itu tergantung produknya. Yang pakai gandum terigu 100% impor, gula industri 100% impor, garam 70% impor, susu 80%, buah-buahan 70%. KONTAN: Impor karena dalam negeri belum mampu menyediakan bahan baku? ADHI: Contoh yang paling gamblang adalah kakao. Dulu, tahun 2010 ada gerakan nasional kakao, itu di hulu. Lalu, di hilir didorong dengan program industrialisasi kakao. Bea keluar kakao naik 10%, dengan harapan orang bisa mengolah, tidak ekspor kakao mentah. Kapasitas industri kakao kita saat itu hanya 100.000 ton, lalu didorong sehingga empat tahun naik menjadi 600.000 ton. Tetapi di hulunya tidak dipelihara, sehingga produksinya turun dari 900.000 ton jadi 400.000 ton. Alhasil, sekarang kita harus impor bahan baku kakao. Lalu, buah-buahan juga banyak yang impor untuk industri makanan dan minuman lantaran di hulu tidak industrialisasi. Memang, di negara kita banyak buah-buahan, tapi mutunya tidak stabil, tidak seragam. Harganya juga mahal. Sebab, produksinya kecil dan logistiknya mahal. Kalau mau, pemerintah bikin satu kluster, misalnya, mangga. Sekarang, kami harus impor dari India, Filipina. Singkong saja juga harus impor. Di Thailand, ada kluster khusus singkong. Semuanya dapat dukungan dari pemerintah. Dan, industrinya berdiri di dekat kluster sehingga semua sangat efisien dan sangat murah. Contoh lain, cabai. Produksinya setahun sebenarnya cukup. Namun di bulan-bulan tertentu, produksinya tinggi dan tidak diserap semua. Akibatnya, cabai rusak. Tapi di bulan berikutnya, produksi tidak tercapai sehingga industri harus impor. Ini kan contoh bahwa tidak ada industrialisasi. Semestinya, saat produksi berlimpah, kan, bisa disimpan dengan bantuan teknologi. Hal inilah yang membuat industri makanan dan minuman sangat tergantung dengan bahan baku impor. Bahan baku susu juga 80% impor. Kemudian, ada peraturan menteri pertanian, bahwa importir susu harus kerjasama dengan peternak lokal dan mempromosikan susu lokal. Masalahnya, produksi susu lokal terbatas, sudah terserap semua. Jadi, pemerintah harus memikirkan, bagaimana meningkatkan produksi dan kualitasnya. Bukan malah disuruh kerjasama. Wong semua susu terserap. Ujung-ujungnya, kan, tetap impor terus. Kondisi ini juga ditambah dengan kebijakan pemerintah soal impor, ada juga yang menghambat. KONTAN: Jadi, apa yang harus pemerintah lakukan terkait impor bahan baku? ADHI: Pemerintah harus mengubah mindset, pola pikir, kalau impor bahan baku sebenarnya tidak tabu. Sekarang, seolah-olah impor bahan baku jelek. Makanya, aturannya dibikin ketat. Padahal, bahan baku memberikan nilai tambah untuk produk dalam negeri, juga menciptakan lapangan pekerjaan. Di negara lain, seperti Vietnam, Kamboja, dan Myanmar, pemerintahnya cukup cerdas. Mereka membolehkan bahan baku masuk bebas. Tapi, harus diproduksi di dalam negeri. Sehingga, daya saing mereka sangat bagus sekali dan harganya murah. KONTAN: Selama ini, hambatan impor apa saja? ADHI: Misalnya, impor hortikultura, buah-buahan dan sayur mayur mesti mendapatkan rekomendasi dari menteri pertanian. Lalu, harus izin menteri perdagangan dan BPOM. Aturannya banyak dan menjadi kendala. Seharusnya, impor bahan baku diizinkan masuk dan barang jadi yang diketatkan. Di luar negeri, bahan baku gula, bea masuknya banyak yang nol persen. Tapi di Indonesia, bahan baku gula kena bea masuk. Tetapi, barang jadinya malah tidak kena bea masuk. Ini, kan, tidak sinkron. Impor kakao kena bea masuk 5%, tapi produk jadi cokelat dari Malaysia, misalnya, malah nol persen. Jadi, kata kuncinya: ada sinkronisasi di hulu dan hilir. KONTAN: Pemerintah memberikan THR dan gaji ke-13 untuk PNS dan pensiunan, ini akan berdampak ke industri makanan dan minuman? ADHI: Daya beli yang lemah, memang di awal-awal tahun cukup terasa. Ya, mudah-mudahan dengan pemerintah memberikan THR dan gaji ke-13 untuk PNS dan pensiunan, efeknya bisa terasa karena optimisme masyakarat dapat kembali lagi. Tahun lalu, fokus pemerintah ke infrastruktur. Untuk jangka panjang, ini bagus, namun untuk jangka pendek tidak terasa dampak pembangunan infrastruktur. Kebetulan juga harga komoditas mulai naik. Mestinya, tahun ini ekonomi akan bagus lagi. ◆ Biodata
Riwayat pendidikan: ■ Sarjana Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Riwayat pekerjaan: ■ Direktur PT Niramas Utama ■ Direktur PT Madu Lingga Raharja ■ Ketua Umum GAPMMI
** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edis 4 - 10 Juni 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Kami Akan Evaluasi Harga Setelah Lebaran" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga