Adrian Bramantyo Musyanif, CEO Marga Abhinaya: Kembangkan perusahaan di usia muda



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjadi orang nomor satu di sebuah perusahaan besar pada usia yang masih belia, bukan hal mudah. Tapi, ada pula yang sukses menjalaninya. Hal ini dialami Adrian Bramantyo Musyanif. Pria kelahiran tahun 1987 ini, menduduki posisi Chief Executive Officer (CEO) PT Marga Abhinaya Abadi Tbk pada usia 30 tahun.

Pria yang akrab disapa Bram ini memimpin Marga Abhinaya, yang merupakan perusahaan keluarganya. Ayah Bram, yakni Musyanif, merupakan pemilik dan pendiri PT Saligading Bersama yang adalah induk usaha dari Marga Abhinaya. 

Meski begitu, Bram mendapat tantangan, supaya tidak sekedar menjadi penerus yang cukup duduk manis, tapi mesti menjadi seorang CEO yang profesional di bidangnya. Melalui kerja keras dan keuletan, Bram berhasil membesarkan anak usaha Saligading ini, dari awalnya fokus pada bisnis hotel dan resort,  kemudian merambah bisnis properti dan kuliner. 


Saat awal dipercaya terlibat dalam perusahaan, Bram punya prinsip untuk membekali diri dengan berbagai pengetahuan seputar bisnis keluarganya. Bram memperbanyak pengalaman dan interaksi dengan semua pihak. Ia mulai memperkuat relasi dengan para karyawan dan mitra bisnis agar dapat membawa gerbong menjadi perusahaan terkemuka.

Kepada Kontan.co.id beberapa waktu lalu, Bram berbagi kisahnya menahkodai perusahaan yang bergerak di sektor properti dan perhotelan ini. Ia mengatakan, pada awalnya, ia tidak ingin mengikuti jejak ayahnya, jadi eksekutif di sebuah perusahaan. Bram ingin menjadi pilot pesawat. 

Namun, ternyata cita-cita Bram harus kandas. Soalnya, saat  duduk di bangku SMA, ia tidak mengambil jurusan IPA. Kemudian, ia juga menggunakan kacamata. Kondisi ini tidak memenuhi syarat untuk jadi pilot. Maka, ia harus merelakan keinginan itu.

Setelah lulus SMA pada tahun 2005, Bram memilih masuk program studi marketing di Departemen Manajemen Universitas Indonesia (UI). Namun setelah menjalaninya selama beberapa semester, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya di jurusan ini. Ia lebih tertarik  masuk program studi Sumber Daya Manusia di departemen yang sama.  

“Saya minta ke bapak saya untuk diizinkan agar lulus kuliah tidak tepat waktu. Karena awalnya,  konsentrasi saya di marketing. Tapi kemudian saya kurang merasa nyaman sehingga memutuskan beralih ke jurusan human resources,” ujarnya. 

Bram bilang, keputusannya berpindah jurusan bukan hanya masalah suka atau tidak dengan yang sebelumnya. Namun, ia berpikir untuk kebutuhan sepuluh tahun ke depan. Menurutnya, pemimpin perusahaan harusnya menguasai kemampuan sumber daya manusia, yang menjadi fondasi kemajuan sebuah perusahaan.

Sambil menjalani kuliah, Bram memperdalam pengetahuannya seputar sumber daya manusia dengan menduduki jabatan sebagai Human Resources Analyst Intern di PT  PP (Persero) Tbk, selama dua tahun yakni di tahun 2007–2008.     Selama bekerja di PT PP, Bram kerap dilibatkan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dialami perusahaan. Dalam kondisi seperti itu, ia mulai mengenal perusahaan secara lebih dalam dan menuntutnya untuk memberikan masukan serta ide-ide untuk kemajuan perusahaan. Situasi ini sangat membantu mempersiapkan Bram menjadi pemimpin perusahaan.

Bram mengaku, dengan terlibat aktif dalam memikirkan persoalan perusahaan, ia kaya akan pengalaman dan pengetahuan seputar masalah-masalah riil yang dihadapi perusahaan dan bagaimana cara mengelolanya. Ia juga mulai mengetahui secara rinci skema bisnis dan cara kerja managemen perusahaan dengan baik.

Kemudian pada tahun 2009, setelah ia mendapat kesempatan menduduki jabatan Corporate Human Resources Director di PT Saligading Bersama. Posisinya sebagai direktur Sumber Daya Manusia di Saligading memberikan akses yang luas bagi Bram untuk terlibat aktif dalam merancang bisnis dan mengelola persoalan-persoalan yang dialami perusahaan. “Sembari kuliah, di tahun 2009, saya juga mulai bekerja sambilan sekaligus ikut mengamati jalannya rapat perusahaan di Saligading,” kenangnya.

Setelah lulus kuliah, pada tahun 2011, Bram dipercaya menjadi CEO Hotel Samali & Resorts yang menjadi cikal bakal PT Marga Abhinaya Abadi Tbk. "Bersama dengan seorang ekspatriat, saat itu yang menjabat sebagai Managing Director Hotel Samali & Resorts, saya dipaksa untuk menjadi pemimpin,” kenangnya. 

Namun, dengan memimpin sendiri Hotel Samali & Resorts, ia tertantang menjalankan konsep dan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Ini merupakan latihan pertama baginya menjadi seorang pemimpin.  

Perjuangan Bram tidaklah sia-sia. Di tangannya, Hotel Samali & Resorts berkembang dan merambah ke bisnis properti dan food & beverage. Bahkan pada tahun 2017, ia memutuskan untuk menjadikan Hotel Samali & Resorts perusahaan terbuka dan bersalin nama menjadi PT Marga Abhinaya Abadi Tbk dengan kode saham MABA.

Ia pun kemudian mengikuti serangkaian tes untuk menduduki posisi sebagai Direktur Utama di MABA. Meski merupakan anak dari pendiri induk perusahaan, Bram mengaku tidak mudah mengikuti tes tersebut, karena persoalan yang diberikan pada cukup berat. Bahkan, Bram mengaku merasa belum mencapai level untuk merampungkan masalah itu. Tapi, kondisi memaksanya untuk menyelesaikannya dan ia berhasil. 

Kesejahteraan karyawan

Setelah menjadi orang nomor satu di MABA, hal pertama yang dilakukan adalah membangun tim yang solid. Kemudian sesuai filosofinya, seorang pemimpin tak pernah berhenti belajar, maka ia harus meningkatkan kapabilitas sebagai Direktur Utama di perusahaan terbuka. 

Maka pada tahun 2017, ia memutuskan melanjutkan kuliah pasca sarjana di Stanford Graduate School of Business Executive Education, California, Amerika Serikat. Ia mengatakan, tim yang kuat perlu dilengkapi dengan kualitas SDM yang mumpuni.

“Dengan kesempatan belajar yang saya miliki, saya bisa mendapatkan pandangan baru dalam menemukan solusi. Saya juga semakin optimistis memperkirakan MABA akan cukup ekspansif dalam lima tahun ke depan,” harapnya. 

Bram menambahkan, salah satu upayanya mendorong pertumbuhan bisnis di sektor hotel, properti, dan food & beverages-nya adalah memiliki tim inti yang solid dan inovatif.

Maka ia memutuskan, setiap enam bulan, mereka melakukan penilaian terhadap kualitas tim direksi di MABA. Ia bilang, hal ini sebagai upaya untuk mendukung produktivitas perusahaan dan individu. "Bahkan saya berencana tahun 2019 membawa tim inti berangkat ke Stanford atas permintaan Faculty Director di Stanford University,” janjinya. 

Untuk membangun tim yang solid demi bisa mencapai visi perusahaan, Bram melihat harus ada culture kuat yang dimiliki perusahaan. Hal ini bisa dimulai dengan memerhatikan kesejahteraan karyawan. Baginya kesejahteraan karyawan menjadi sangat penting untuk menyokong kinerja perusahaan yang berkualitas.

Bila kesejahteraan diperhatikan, maka karyawannya akan lebih fokus dalam bekerja dan mengembangkan kualitas SDM mereka, dan tidak lagi mencari pemasukan tambahan dari bisnis lain yang bisa mengurangi waktu mereka untuk membangun perusahaan dan mengembangkan kualitas SDM mereka.

Dengan demikian, di lingkup perusahaan, setiap karyawan memiliki roh yang akhirnya mendukung pembentukan culture perusahaan untuk mencapai visi dan misi yang ditetapkan.

Selain itu, Bram menambahkan, sebagai pemimpin, ia ditantang mengenali karakter tim yang menjadi penyokong utama kinerja perusahaan. Ia mengakui, acapkali dibutuhkan kerja keras supaya tim benar-benar menunjukkan performa yang maksimal.

“Terkadang saya juga harus mendorong tim lain yang membutuhkan dukungan lebih. Karena saya tahu, kita tidak bisa memperlakukan orang dengan cara yang sama. Maka saya mencoba untuk menghilangkan gap apa pun secara birokrasi antara CEO bahkan sampai tingkat office boy  sekalipun,” tuturnya. 

Bram juga berusaha menerapkan komunikasi terbuka di dalam perusahaannya, sehingga antar tim maupun antar individu, memiliki kebebasan menyampaikan pendapat dan masukan, untuk menjaga culture perusahaan dengan baik.

“Ini penting untuk menciptakan kelancaran komunikasi sehingga karyawan tidak mengalami hambatan dalam berkomunikasi, meskipun kami tidak menampik akan adanya leveling, namun yang terpenting adalah gap yang berusaha kami hilangkan agar lebih memahami karyawan,” katanya. 

Menjadi CEO, menurutnya adalah sebuah tanggungjawab besar yang harus Ia pikul.  “Terlebih ketika menghadapi tantangan dan permasalahan dalam menjalankan perusahaan. Bagaimana saya dan tim harus tetap bekerja, dalam keadaan krisis global sekalipun,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi