Adu kuat Kementerian ESDM-Freeport, siapa menang?



KONTAN.CO.ID - Adu kuat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan PT Freeport Indonesia terjadi. Keduanya saling klaim soal poin renegosiasi. Menteri ESDM Ignasius Jonan di Istana, Selasa (21/8) mengatakan Freeport Indonesia sudah setuju skema divestasi 51%.

Namun, Jurubicara Freeport Indonesia, Riza Pratama buru-buru membantah kesepakatan divestasi 51% merupakan satu paket kesepakatan dalam pembahasan negosiasi antara pemerintah dengan Freeport. Menurut dia, kesepakatan empat poin harus disepakati bersamaan.

Menurutnya, kesepakatan adalah satu paket. "Seperti yang pernah kami sampaikan sebelumnya, semua poin dalam negosiasi adalah satu paket kesepakatan. Divestasi adalah salah satu dari empat poin negosiasi. Betul (belum sepakat divestasi 51%)," tegas Riza kepada KONTAN, Senin (21/8).


Asal tahu saja, empat poin negosiasi yang dimaksud oleh Riza adalah, perpanjangan izin operasi hingga tahun 2041. Kemudian pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral pembangunan smelter, divestasi saham 51% dan perpajakan.

Riza juga menegaskan, Freeport juga belum sepakat untuk membangun smelter. Freeport Indonesia tidak akan membangun smelter jika pemerintah tidak memberikan perpanjangan izin operasi Freeport sampai tahun 2041.

Riza bilang, Freeport Indonesia sangat berharap mendapatkan perpanjangan operasi sampai dengan tahun 2041."Sehingga kami dapat melanjutkan investasi tambang bawah tanah sebesar US$ 15 miliar dan pembangunan smelter sebesar US$ 2,3 miliar serta divestasi 51%," tandasnya.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono menyatakan, Freeport Indonesia harus mengikuti ketentuan divestasi saham sebesar 51%. Itu sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 01/2017 tentang Pelaksana Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. "Seperti pernyataan Freeport Indonesia kemarin yang belum setuju, kami tidak perlu setuju dan tidak setuju. Yang jelas. persyaratan untuk operasional Freeport itu 51% harus," terangnya di Kantor Kementerian ESDM, Selasa (22/8).

Artinya, apabila Freeport tidak setuju dengan divestasi saham 51%, maka perpanjangan izin operasi perusahaan yang bermarkas besar di Amerika Serikat itu tidak dapat dilanjutkan. Begitu juga dengan tidak sepakatnya Freeport membangun fasilitas smelter. "Kalau Freeport bilang enggak setuju silakan saja, tapi pemerintah punya positioning begitu," tegasnya.

Kata Bambang, apabila sampai waktu yang ditargetkan Freeport belum juga sepakat atas empat poin negosiasi itu, khususnya divestasi 51% dan pembangunan smelter, maka status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang disandang sementara ini harus berubah kembali. Yakni ke Kontrak Karya (KK).

Pengamat Energi Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmi Radhi mengatakan, klaim dan bantahan soal kesepakatan divestasi 51% tersebut mengindikasikan perundingan antara pemerintah sulit mencapai kata sepakat. "Saya meyakini, perundingan pemerintah dan Freeport berpotensi deadlock," kata dia, Selasa (22/8).

Ia menilai, pernyataan Jonan yang bilang kesepakatan divestasi sudah diperoleh itu hanya untuk menyenangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Padahal, faktanya Freeport sama sekali belum menyetujui dengan langsung mengirimkan bantahannya. Fahmi yakin, Freeport McMoRan tidak akan pernah menyerahkan mayoritas kepemilikan saham kepada Indonesia. "Mereka tidak mau kehilangan kontrol dalam mengendalikan Freeport Indonesia," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie